BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tashawwuf
adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan (biasanya dilakukan dengan
mengasingkan diri) guna membebaskan diri dari pengaruh kehidupan dunia, dengan
tujuan untuk mendekatkan diri dan
memperoleh suatu hubungan khusus yang langsung dengan Allah, tercermin ahklak
yang mulia dan dekat dengan Allah Swt.
Ahli tashawwuf disebut Sufi, yang selalu berusaha mensucikan
jiwanya demi mendekatkan diri kepada Allah. sebagai Tuhannya, dan untuk itu
diperlukan pendidikan dan latihan mental yang panjang dan bertingkat, dari
tahap satu ketahap lain yang lebih tinggi
; tobat, zuhud, sabar, kefakiran
kerendahan hati, ketaqwaan, tawakkal, kerelaan, cinta, sampai kepada tercapainya
kesempurnaan (ma'rifatullah).
Menurut
Ibn Al Qayyim, Ma’rifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifah
(orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang
melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi
pengenalannya”.
Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’riaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah.[1]
Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’riaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah.[1]
Sebagai ilmu pengetahuan, Tashawwuf adalah salah satu
cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari
ajaran agama Islam yang khusus berkaitan dengan aspek-aspek moral serta tingkah
laku untuk mencapai atau menuju kepada
keadaan yang lebih baik dan lebih sempurna sesuai dengan substansi
ajaran Islam, yang menekankan dimensi atau aspek spiritual kehidupan manusia, atau lebih kepada aspek rohani
ketimbang aspek jasmani dan atau kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia
yang fana. Oleh karena itu ilmu Tashawwuf
sangat penting untuk dipelajari dan
dipahami terutama bagi masyarakat pemeluk agama Islam umumnya dan para pemuka agama Islam khususnya,mengingat dewasa ini masyarakat mengalami banyak masalah dalam kehidupan
duniawi dan atau spritual keagamaan, sehingga mempelajari dan memahami Tashawwuf diharapkan akan menjadi suatu cara yang manjur untuk
menemukan solusi dari berbagai masalah tersebut.
Berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadist sahih sebagai
dokrin ajaran Islam yang berlaku mutlak, nilai-nilai Tashawwuf (nilai-nilai sufi ) sudah
ada sejak zaman Rasulullah SAW, tasawuf nyata terlihat dari tingkah laku dan
perbuatan nabi yang mencerminkan ahklak yang sangat tinggi dan mulya, hal mana
sangat erat relevansinya dengan keberadaan nabi dalam kapasitasnya sebagai
utusan Allah, yakni untuk memperbaiki dan sekaligus menyempurnakan akhlak
manusia.
Salah satu tokoh tashawwuf yang sangat terkenal adalah Imam Al-Ghazali, seorang ahli sains sekaligus sebagai
tokoh sufi terkemuka, sehingga digelari sebagai hujjat
ul-Islam.
Dalam perjalanan hidupnya ia
merupakan seorang pengembara ilmu, terbukti dengan karya-karyanya yang kaya
akan berbagai cabang keilmuan. Sebagai tokoh sufi ia dikenal sebagai seorang
ulama usul fiqh dengan karyanya al-mustashfa, dan ia juga dikenal
sebagai tokoh filsafat dengan karyanya Tahafut al-Falasifah yang
mengkritik konsep berfikir para filosof saat itu. Ia menganggap ajaran
pemikiran filsafat para filosof telah melewati batas, hal mana menimbulkan
kehawatiran yang mendalam dalam dirinya akan rusaknya akidah kaum filsafat, oleh
karena itu beliau berinisiatif untuk meluruskan pemikiran filsafat dengan menggagas kaedah-kaedah tasawuf sebagai
jembatan guna mendamaikan syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami clash
pada zaman itu, yang berhasil diwujudkannya melalui karya terbesarnya,
”Ihya’ U’lum al-Din ” (The Revival of Religion Sciences).
Makalah ini akan memaparkan
kerangka dasar pemikiran Tashawwuf Imam Al-Ghazali dengan bertolak dari pengertian Tashawwuf
menurut para ahli ilmu agama Islam, sejarahnya,
latar belakang kehidupan pribadi Imam Al-Ghazli dan buah pemikirannya
serta pendapat dunia Islam dan pemikir Islam tentang beliau, baik yang pro
maupun yang kontra.
B.
Perumusan Masalah
Permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini adalah
sebagai berikut :
” Bagaimana Konsep Ajaran Tasawuf Imam Al-Ghazali mampu menggagas Kaedah-kaedah Tashawwuf sehingga
dianggap sebagai jembatan yang telah berhasil mendamaikan Syari’at dengan
Tasawuf ?”
C. Tujuan Dan Kegunaan Penulisan
1. Tujuan
Penulisan.
Penulisan makalah ini
ditujukan untuk mengetahui :
a. Mengetahui tentang ilmu pengetahuan Tashawwuf umumnya dan kerangka dasar pemikiran Tashawwuf Imam Al-Ghazali
khususnya dalam menafsirkan Ajaran Islam bagi kemaslahatan pemeluknya dunia dan
akherat.
b. Sebagai langkah awal bagi penulis untuk penyusunan
Thesis nantinya dalam menyelesaikan study di Pasca Sarjana Magister Hukum.
1.
Kegunaan
Penulisan
a.
Kegunaan Praktis ; Penulis
berharap keseluruhan data dan informasi yang
disajikan dalam dalam
makalah ini dapat memberikan masukan bagi para penyelenggara Negara dalam
pembentukan dan pembangunan hukum Islam kotenporer Indonesia.
b.
Kegunaan Teoritis ; Diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dalam pengambilan kebijakan, peningkatan dan pengembangan serta
pembaharuan hukum Islam, sehingga
dapat diimplementasikan dalam
penanganan masalah Hukum Nasional terhadap masyarakat Islam yang sesuai dengan ajaran Islam.
D. Metode
Penulisan.
Penulisan
makalah ini
bersifat studi kepustakaan (library research), di mana data yang
diperoleh berdasarkan pustaka melalui Al-Quran dan Hadist, buku-buku, peraturan
perundang-undangan, dan laporan,
makalah dan atau artikel-artikel yang berhubungan
dengan filsafat hukum dan perannya dalam pembentukan hukum Indonesia kontenporer yang didapat melalui internet.
BAB
II
TINJAUAN
UMUM TENTANG TASAWUF
A.
Pengertian
Tashawwuf
Adakah istilah tasawuf pada zaman Rasulullah Saw ?
Tentu jawabannya tidak ada. Sebab penamaan cabang-cabang ilmu syariat belum ada di zaman Rasulullah, tetapi praktek cabang ilmu tersebut
sudah ada sejak zamannya. Misalnya ilmu tafsir, penamaannya baru populer
setelah abad ke-2 H yang dipelopori oleh para penulis perdana dalam cabang ilmu
ini seperti, Syubah bin Hajjaj, Sufyan bin Uyainah dan Waki bin Jarah, pada hal praktek penafsiran sudah ada sejak zaman
Rasulullah. Begitu juga ilmu tasawuf dan cabang ilmu syariat yang lain.[2]
Tashawwuf adalah ilmu untuk mengetahui
bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin,
untuk memporoleh kebahagian yang abadi.
Berusahalah
engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf,
dan janganlah kamu
hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya
demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.Orang yang hanya
mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat
merasakan kelazatan takwa,
sedangkan
orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka
bagaimana bisa menjadi
baik ?[3]
Alhamdulillah,
penggunaan kata tasawuf
telah didiskusikan secara mendalam. Ini
adalah istilah yang diberikan
kepada hal yang berhubungan dengan cabang
ilmu (tazkiyat an-nafs and Ihsan). “Tasawwuf adalah ilmu tentang kenyataan dan keadaan
dari pengalaman. Sufi
adalah orang yang menyucikan dirinya dari segala sesuatu
yang menjauhkan dari mengingat Allah dan orang yang
mengisi dirinya dengan ilmu hati dan ilmu pikiran di
mana harga emas dan batu adalah sama saja baginya. Tasawwuf menjaga makna-makna yang
tinggi dan meninggalkan
mencari ketenaran dan egoisme untuk
meraih
keadaan yang penuh dengan kebenaran. Dia melanjutkan mengenai Sufi,”mereka berusaha
untuk menaati Allah, sehingga
dari mereka kamu akan mendapati mereka
merupakan
yang terdepan (sabiqunas-sabiqun) karena
usaha
mereka. Dan sebagian dari merupakan golongan
kanan
(ashabus-syimal).”
Ibn Al-Khaldun
dalam Mukadimah-nya menulis,
Ilmu ini (yakni tasawuf) salah satu ilmu syariat baru di dalam agama Islam.
Sebenarnya, metode kaum ini (kaum sufi) telah ada sejak masa para sahabat,
tabiin dan ulama-ulama penerusnya, sebagai jalan kebenaran dan petunjuk, karena
inti tasawuf adalah tekun beribadah, memutuskan hubungan dari selain Allah,
menjauhi kemewahan dan kegemerlapan duniawi, meninggalkan kelezatan harta dan
tahta yang sering dikejar kebanyakan manusia dan mengasingkan diri dari manusia
untuk beribadah. Praktek ini populer di kalangan para sahabat dan ulama
terdahulu. Ketika tren mengejar dunia menyebar di abad kedua dan setelahnya,
manusia mulai tenggelam dalam kenikmatan duniawi, orang-orang yang menghususkan
diri mereka kepada ibadah disebut sufi.[5]
Shaikh
Rashad Rida berkata, ”tasawwuf adalah salah satu pilar
dari pilar-pilar agama. Tujuannya adalah
untuk membersihkan diri
dan mempertanggungjawabkan perilaku sehari-hari dan
untuk menaikan manusia menuju maqam spiritual yang tinggi”. [6]
DR. YUSUF AL-QARDHAWI (Ketua Ulama Islam Internasional
dan juga guru besar Universitas al Azhar – Beliau merupakan salah seorang ulama
Islam terkemuka abad ini) mengatakan : “Arti tasawuf dalam agama ialah
memperdalam ke arah bagian ruhaniah, ubudiyyah, dan perhatiannya tercurah
seputar permasalahan itu. Mereka
para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti jalan di atas garis yang telah
ditetapkan oleh Al-Qur,an dan As-Sunnah, bersih dari berbagai pikiran dan
praktek yang menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya. Banyak orang masuk
Islam karena pengaruh mereka, banyak orang yang durhaka dan lalim kembali
bertobat karena jasa mereka,
dan
tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam, berupa kekayaan besar dari
peradaban dan ilmu, terutama di bidang ma’rifat, akhlak dan
pengalaman-pengalaman di alam ruhani, semua itu tidak dapat diingkari.”[7]
1. Safa, artinya suci dan sufi adalah orang yang disucikan, dan memang, kaum sufi berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat,
terutama salat dan puasa.
2.
Saf (baris), yang
dimaksud saf ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati
oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat al-Qur'an
dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang
berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
3.
Ahl
al-Suffah, yaitu para sahabat yang
hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah.
Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah (pelana) sebagai
bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa,
berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat
kaum sufi.
4.
Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam)
berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk
kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan
dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.
5.
Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang
ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa
dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari
bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan
kejauhan dari dunia.
Selanjutnya Harun
Nasution menjelaskan, Tashawwuf itu
merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, tashawwuf atau
sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam bisa sedekat mungkin
dengan tuhan”.
Dari berbagai
definisi yang berbeda-beda tersebut
dapat
ditarik suatu kesimpulan
tentang inti sari dan atau kata kunci dan atau esensi dan atau hakekat yang
sebenarnya dari Tashawwuf itu adalah ; mendekatkan
diri kepada Allah SWT.
B.
Mendekatkan
diri kepada Allah SWT.
Maka
apabila kita rujuk dengan Al-Qur’an, keinginan manusia atau kaum sufi untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Bukanlah hal yang berlebihan atau mustahil,
karena sebenarnya Allah sendiri telah mengatakan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, bahwa manusia dekat sekali pada Tuhan, diantaranya, Surat al-Baqarah ayat 186 :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا
بِي لَعَلَّهُمْ
يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah),
bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran.
Dan
perintah Allah dimaksud dalam Al- Qur’an
Surat Adz-Dzaariyaat ayat 56 : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku”, dan Surat Al-Baqarah ayat 21;
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang
yang sebelummu, agar kamu bertaqwa”.
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 30:“Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman pada para malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi’…”
Beribadah berarti melaksanakan segala sesuatu (yang
baik) dengan semata mengharap ridla Allah. Bertaqwa artinya menjalankan segala
yang diperintahkan olehNya dan meninggalkan segala yang dilarang olehNya.
Selain itu, manusia diberi kepercayaan oleh Allah SWT
untuk menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi. Tugas kekhalifahan (Kepemimpinan) itu dimulai dengan memimpin diri (hawa nafsu)nya sendiri, keluarga, dan
kemudian berkembang ke memimpin lingkungan yang lebih luas. Namun kepercayaan Allah terhadap manusia untuk menjadi
khalifah dimuka bumi awalnya diprotes oleh malaikat dan iblis, dengan alasan yang berbeda. Malaikat protes karena melihat manusia
suka saling berbunuhan; sedangkan, iblis protes karena merasa dirinya yang
dibuat dari api itu lebih tinggi derajatnya dari pada manusia yang dibuat dari
tanah. Setelah Allah menjelaskan, malaikat mengikuti perintah Allah dan
mengakui kekhalifahan manusia, tetapi iblis tetap membangkang, meskipun diancam dengan Neraka Jahannam, malahan minta ‘privilege’ kepada Allah SWT untuk dapat hidup
terus hingga Hari Qiamat dan diberi ijin untuk membujuk manusia mengikuti jalan
sesatnya. Allah mengijinkan permintaan ini, sebagaimana dialog antara Allah dengan malaikat dan iblis dalam Al-Qur’an (Q.S. Al-Baqarah: 30, Surat Al- Israa’ ayat:62-65, Surat An-Nisaa’ayat 118-119, Surat Al-A’raaf ayat 16-17,).
Sasaran Strategis Syaithan adalah Hati (Qalb), karena hati merupakan inti dari manusia. Hatilah, dan bukan
akal, yang menggerakkan seluruh anggota badan. Hati pulalah yang menghubungkan
manusia dengan Khaliknya, Allah SWT. Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat
Az-Zumar 17-18:[9] “Bahwa Allah itu tidak melihat kepada rupamu, akan
tetapi melihat kepada bathinmu.” Rasulullah SAW bersabda: “Bahwa dalam
badan anak Adam itu ada segumpal darah. Apabila segumpal darah itu baik,
baiklah seluruh badan anak Adam itu. Apabila gumpalan darah itu rusak, rusaklah
seluruh badan anak Adam itu. Perhatikanlah, bahwa yang dimaksud itu adalah
hati.”
Peranan hati itu demikian penting karena didalamnya
Allah Ta’ala menaruh Nur yang bersifat Al-Latifah (Kelembutan), Ar- Rabbaniyah
(Ketuhanan), dan Ar-Rohaniyah (Kerohanian). Dengan Nur itulah manusia dapat
memperoleh ma’rifat. Apabila manusia menyelam ke dalam dirinya dan terus
menerus kembali kepada hatinya, terpancarlah baginya mata air ilmu yang disebut
“Ilmu Laduniah”. [10]
Al-Bazari berkata: “Dalam hati itu terdapat sifat ‘Al-
Latifah’, ‘Ar-Rabbaniyah’, dan ‘Ar-Rohaniyah’ yang bersangkutan dengan tubuh
manusia. Itulah hakikat insan dan itulah yang dapat mencapai arif, tempat Nur
yang ditaruh Tuhan padanya.” [11]
Sedangkan Abdul Qadir Al-Jaelani berucap: “Hati itu
tempat ilmu hakikat karena ‘latifatur Rabbaniyyah’ yang mengatur bagi sekalian
anggota badan. Hati itu alat penembus hakikat, bahwa
penyebab yang membutakan hati itu adalah diantaranya jahil atau tidak sefaham
tentang hakikat perintah Tuhan. Manusia menjadi jahil apabila jiwanya sudah
dikuasai oleh sifat jiwa zalim, yang ditanamkan oleh syaithan lewat hawa nafsu
manusia, seperti: syirik, zinna, takabur, irihati, dengki, kikir, melihat diri
lebih utama, suka membuka rahasia orang lain, suka membawa berita adu domba,
bohong, dusta, dan semacamnya yang dapat menjatuhkan manusia ke dalam lembah
kehancuran dan kehinaan.…”[12]
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Jikalau tidak bahwa
syaithan-syaithan itu menutupi hati anak Adam, sungguh orang-orang yang mu’min
itu melihat kepada langit malakut dan buminya.” Syaithan menutup hati manusia
itu dengan mengembangkan ‘nafsul-ammarah bissu’ (nafsu yang membawa kejahatan)
yang memang sudah ada pada diri manusia. Hawa- nafsu itu mendorong pada tindak
kejahatan dan pemenuhan kesenangan pribadi dan syahwat nalurinya. [13]
Para guru Tasawwuf mengatakan bahwa syaithan sadar sesadar-sadarnya akan pentingnya peranan hati ini
dalam diri manusia, syaithanpun menyerang manusia dari sasaran strategis ini, ia memasuki hati dalam badan manusia melalui sembilan
lubang ya’ni kedua mata, kedua lubang telinga, kedua lubang hidung, lubang
mulut, dan kedua lubang kemaluan, agar hati manusia menjadi buta, sehigga tidak dapat menerima Nur Illahi.
Buta hati adalah sesungguh-sungguhnya buta manusia.
Demikian Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Haj ayat 46 : “…Karena sesungguhnya yang disebut buta itu
bukanlah buta matanya, melainkan buta hatinya yang letaknya di dalam dada.”
Sifat jiwa yang zalim yang menyebabkan butanya hati
tersebut adalah suatu penyakit, apabila tidak segera diobati akan berakselerasi atau
beranak-pinak, sebagaimana ditandaskan Allah SWT. dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 9: “Dalam hati
orang-orang kafir itu ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit itu, dan bagi
mereka siksa yang pedih, karena mereka berdusta” dan ;
At-Taubah ayat 125: “Dan adapun
bagi orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit, maka bertambah kotorlah di
atas kotorannya serta mereka meninggal dunia dalam keadaan kafir.”
Demikian berbahayanya penyakit hati yang dihembuskan
syaithan lewat hawa nafsu manusia ini sehingga Rasulullah SAW menyatakan jihad
akbar melawan hawa nafsu ini. Hal ini dapat dilihat dari sabda-sabda beliau
seperti: “Jihad yang paling utama adalah jihad seseorang untuk dirinya dan
hawa nafsunya” (Bukhari dan Muslim), “Musuhmu yang paling berbahaya
adalah nafsumu yang terletak diantara lambungmu”, dan “Kami kembali dari
jihad kecil ke jihad besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu” (yang diucapkan
sekembalinya dari Perang Badr yang akbar itu). Berjuang melawan musuh yang
dzahir ada kesudahannya tetapi berjuang melawan syaithan dan hawa nafsu tidak
ada habis-habisnya dan tidak berkesudahan hingga akhir hayat atau hari qiamat.
Membersihkan hati dan menolak kehendak hawa nafsu yang
keji itu fardlu ‘ain hukumnya. Akan tetapi, membersihkan hati itu sangat sukar
karena penyakit hati (illat-illat) itu tidak terlihat oleh mata tetapi dapat
ditangkap dengan hati. Untuk menandingi illat-illat tersebut harus ada Nur yang
tidak dapat ditangkap oleh panca indera tetapi tertangkap oleh hati. Dengan Nur
tersebut keluarlah manusia dari gelap gulita ke terang benderang dengan izin
Tuhannya.
Cara kaum Sufi membuang penyakit hati tersebut adalah
dengan riyadhah dan latihan-latihan yang antara lain meliputi bertaubat,
membersihkan Tauhid, taqarrub kepada Allah, mengikuti Sunnah Nabi, memperbanyak
ibadah, qiyamul lail, tidak memakan/meminum makanan/minuman yang haram, tidak
menghadiri tempat yang menambah nyala api hawa nafsu, tidak melihat pemandangan
yang haram, dan menahan diri dari ajakan syahwat.
Riyadhah dan latihan khusus kaum Sufi untuk
membersihkan hati adalah dengan DZIKRULLAH, berdzikir dengan menyebut nama
Allah, sebagaimana firman Allah SWT
dalam Al-Qur’an Al-Baqarah 152 : “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku
ingat (pula) kepadamu; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu
mengingkari (ni’mat)- Ku.”, dan;
Al-Ahzab 35 :“Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah,
dzikir yang sebanyak- banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan
petang”, dan;
Al-Ahzab 35:“Adapun orang laki-laki yang banyak berdzikrullah, demikian juga
orang-orang wanita, disedikan Allah baginya ampunan dan pahala yang besar”
Dan Ar-Ra’d 28 ; “(yaitu) orang-orang yang beriman dan dan hati mereka
menjadi tenteram dengan dzikrullah. Ingatlah hanya dengan dzikrullah hati
menjadi tenang”.
Landasan lain yang digunakan kaum Sufi adalah
sabda-sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: “Bahwasanya hati itu itu kotor
seperti besi yang berkarat dan pembersihnya adalah Dzikrullah”, “Bagi setiap
sesuatu ada alat pembersihnya, dan alat pembersih hati adalah “DZIKRULLAH”,
dan “Jauhkanlah Syaithanmu itu dengan ucapan ‘LAA ILAAHA ILLALLAH,
MUHAMMADUR RASULULLAH’, karena syaithan itu kesakitan dengan ucapan kalimat
tersebut, sebagaimana kesakitan unta salah seorang kamu sebab banyaknya
penunggang dan banjirnya muatan diatasnya”, “Dzikir kepada Allah SWT, jadi
benteng dari godaan syaithan”, dan “Allah berfirman ‘LAA ILAAHA ILLALLAH
adalah bentengKu. Barang siapa mengucapkannya, masuklah ia kedalam bentengKu.
Dan barang siapa masuk ke dalam bentengku, maka amanlah ia daripada azabKu.
(Hadist Qudsi).”
Adapun kejauhan dan kedekatan seorang hamba dari
Tuhannya bukanlah berarti kejauhan atau kedekatan tempat dan waktu, tetapi
sesungguhnya kejauhan atau kedekatan itu semata-mata karena lupa atau ingat
hati terhadap Allah.[14] Rasulullah SAW bersabda: “Firman Allah Ta’ala, aku
ini sebagaimana yang disangka oleh hambaku, Aku bersama dia apabila ia ingat
kepadaKu, apabila ia mengingatKu dalam dirinya, Akupun ingat padanya dalam
diriKu, dan apabila ia mengingatKu dalam ruang yang luas, aku pun ingat padanya
dalam ruang yang lebih baik.” (Hadis Qudtsi diriwayatkan oleh Bukhari).
Dzikrullah itu dapat mengangkat seorang hamba yang
mu’min dari bumi syahwat ke langit ma’rifat. Rasulullah SAW bersabda “Tidak
ada seorangpun yang berkata Laa Ilaaha Illallah secara ikhlas dalam hatinya,
kecuali Tuhan membukakan pintu langit sehingga ia bisa meninjau arasy.
Anggapan umum tentang Tasawwuf bahwa tasawwuf itu anti dunia dan mereka meninggalkan
segala hal yang berbau dunia adalah keliru, karena kaum Sufi hanya menjauhi sesuatu, termasuk
dunia, yang menghalangi mereka berjalan menuju Allah. Sikap zuhud ini mereka
pegang berdasarkan Firman Allah dalam Al- Qur’an Surat Al-Munafiquun ayat 8
yang berbunyi: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat
Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang
rugi.”
Akan tetapi apabila sesuatu, termasuk dunia, itu
memperkuat ibadah mereka terhadap Allah, apalagi itu perintah Allah dan
Rasulnya, merekapun akan mengambilnya, ini dilandaskan pada Al-Quran Q.S Al-Qosas 77 : “Kejarlah apa
yang diberikan Tuhan untuk akhirat, tetapi janganlah engkau lupa akan nasibmu
di dunia. Berbuat baiklah sebagaimana Tuhan berbuat baik kepadamu, janganlah
bercita-cita berbuat di atas muka bumi ini karena Allah tidak menyukai mereka
yang berbuat kerusakan”,
Dan Q.S. Al-Baqarah 60 ;“Makan dan minumlah kamu dari rezki yang dikaruniakan
Allah, dan janganlah kamu berlomba-lomba berbuat kerusakan di atas bumi ini”,
Dan Sabda Nabi
Muhammada SAW: “Bukanlah orang baik jika
engkau tinggalkan dunia untuk akhirat atau sebaliknya meninggalkan akhirat
untuk dunia. Hendaklah mencapai kedua-duanya karena dunia itu jalan ke akhirat
dan jangan kamu bergantung kepada manusia” (Riwayat Ibn As-sakir).
Syeikh Abdul Qadir Al-Jaelani berkata: “Harta benda itu adalah khadammu dan engkau
khadam Allah. Maka hidupmu didunia ini harus menjadi manusia tauladan dan
hidupmu di akhirat kelak menjadi orang yang mulia.”[15]
Para
ulama besar kaum muslimin sama sekali tidak menentang tasawuf, tercatat banyak
dari mereka yang menggabungkan diri sebagai pengikut dan murid tasawuf, para
ulama tersebut berkhidmat dibawah bimbingan seorang mursyd tarekat yang arif,
bahkan walaupun ulama itu lebih luas wawasannya tentang pengetahuan syari’at
Islam, namun mereka tetap menghormati para syaikh yang mulia, hal ini
dikarenakan ilmu2 syari’at yang diperoleh dari jalur pendidikan formal adalah
ilmu lahiriah, sedangkan untuk memperoleh ilmu batiniyah dalam membentuk
“qalbun salim / akhlak yang mulia”, seseorang harus menyerahkan dirinya untuk
berkhidmat dibawah bimbingan seorang mursyd Tarekat yang sejati. (yang silsilah
keilmuannya jika dirunut keatas akan sampai kepada Nabi Muhammad SAW)[16]
EMPAT
ORANG IMAM MAZHAB SUNNI, semuanya mempunyai seorang guru mursyd tarekat, mereka mempelajari Islam dalam sisi
esoterisnya yang indah dan sangat agung, semua menyadari bahwa ilmu syariat
harus didukung oleh ilmu tasawuf sehingga tercapai pengetahuan sejati mengenai
hakikat ibadah yang sebenarnya.[17]
IMAM
ABU HANIFAH (85 H -150 H) (Nu’man
bin Tsabit - Ulama besar pendiri
mazhab
Hanafi), murid
dari Ahli Silsilah Tarekat Naqsyabandi yaitu Imam Jafar as Shadiq ra. Jalaluddin as Suyuthi dalam kitab Durr al Mantsur, meriwayatkan bahwa Imam
Abu Hanifah berkata ; “Jika tidak karena dua tahun, aku
telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Imam Jafar as Shadiq,
maka saya mendapatkan
ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar”.
IMAM
MALIKI (Malik bin Anas - Ulama besar
pendiri mazhab Maliki) juga murid Imam Jafar as Shadiq ra, menyatakan mendukung ilmu tasawuf : “Barangsiapa
mempelajari/mengamalkan tasawuf tanpa fiqih maka dia telah zindik, dan
barangsiapa mempelajari fiqih tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang
mempelari tasawuf dengan disertai fiqih dia meraih Kebenaran dan Realitas dalam
Islam.” (’Ali al-Adawi dalam kitab Ulama fiqih, juz 2, hal. 195 yang
meriwayatkan dari Imam Abul Hasan).
IMAM
SYAFI’I (Muhammad bin Idris, 150-205 H), ulama besar pendiri mazhab Syafi’i berkata ; “Saya berkumpul bersama orang-orang sufi dan menerima 3 ilmu:
1. Mereka mengajariku bagaimana
berbicara.
2. Mereka mengajariku bagaimana
memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan kelembutan hati.
3. Mereka membimbingku ke dalam jalan
tasawuf.
IMAM
AHMAD BIN HANBAL (164-241 H),
ulama
besar pendiri mazhab Hanbali berkata, “Anakku,
kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu
dan mereka selalu mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka adalah orang-orang
zuhud yang memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi. Aku tidak melihat orang
yang lebih baik dari mereka”
SYAIKH
FAKHRUDDIN AR
RAZI (544-606 H)Ulama besar dan ahli hadits) berkata : “Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan hati mereka dari
kehidupan dunia dan menjaga diri agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati
mereka dengan mengingat Allah pada seluruh tindakan dan perilaku .”
IMAM
AL MUHASIBI (243 H./857 M),
Imam
al-Muhasibi meriwayatkan dari Rasul, “Umatku
akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang akan menjadi kelompok
yang selamat” . Dan Allah yang lebih
mengetahui bahwa satu itu adalah Golongan orang TASAWUF.
IMAM
AL QUSHAYRI (465 H./1072 M),
Imam
al-Qushayri tentang Tasawuf:
“Allah membuat golongan
ini yang terbaik dari wali wali- Nya dan Dia mengangkat mereka di atas seluruh
hamba-hamba-Nya sesudah para Rasul dan Nabi, dan Dia memberi hati mereka
rahasia Kehadiran Ilahi-Nya dan Dia memilih mereka diantara umat-Nya yang
menerima cahaya-Nya. Mereka adalah sarana kemanusiaan, Mereka menyucikan diri
dari segala hubungan dengan dunia dan Dia mengangkat mereka ke kedudukan
tertinggi dalam penampakan (kasyaf).
IMAM
NAWAWI (620-676 H./1223-1278 M),
dalam
suratnya al-Maqasid ;
“Ciri jalan sufi ada 5: menjaga kehadiran Allah dalam hati
pada waktu ramai dan sendiri mengikuti Sunah Rasul dengan perbuatan dan kata
menghindari ketergantungan kepada orang lain, bersyukur pada pemberian Allah
meski sedikit, selalu merujuk masalah kepada Allah swt.
IBNU
KHALDUN (733-808 H), ulama
besar dan filosof Islam berkata
; “Jalan
sufi adalah jalan salaf, yakni jalannya para ulama terdahulu di antara para
sahabat Rasulullah Saww, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in. Asasnya adalah beribadah
kepada Allah dan meninggalkan perhiasan serta kesenangan dunia.”
IMAM
JALALUDDIN AS SUYUTI (Ulama
besar ahli tafsir Qur’an dan hadits) didalam kitab Ta’yad al haqiqat al
‘Aliyyah, hal. 57 berkata, “Tasawuf yang
dianut oleh ahlinya adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Ilmu ini menjelaskan
bagaimana mengikuti Sunah Nabi Saww dan meninggalkan bid’ah.”
TAJUDDIN
AS SUBKI, dalam Kitab
Mu’iid an-Na’iim, hal. 190, tentang Tasawuf : “Semoga Allah memuji mereka dan memberi salam kepada mereka dan
menjadikan kita bersama mereka di dalam sorga. Banyak hal yang telah dikatakan
tentang mereka dan terlalu banyak orang-orang bodoh yang mengatakan hal-hal
yang tidak berhubungan dengan mereka. Dan yang benar adalah bahwa mereka
meninggalkan dunia dan menyibukkan diri dengan ibadah” Dia berkata pula : “Mereka
adalah manusia-manusia yang dekat dengan Allah yang doa dan shalatnya diterima
Allah, dan melalui mereka Allah membantu manusia”
IBNU
‘ABIDIN, ulama
besar, dalam Rasa’il Ibn cAbidin (p.
172-173) menyatakan ;
” Para pencari jalan
ini tidak mendengar kecuali Kehadiran Ilahi dan mereka tidak mencintai selain
Dia. Jika mereka mengingat Dia mereka menangis. Jika mereka memikirkan Dia
mereka bahagia. Jika mereka menemukan Dia mereka sadar. Jika mereka melihat Dia
mereka akan tenang. Jika mereka berjalan dalan Kehadiran Ilahi, mereka menjadi
lembut. Mereka mabuk dengan Rahmat-Nya. Semoga Allah merahmati mereka”.
C. Kehidupan Shufi Nabi Muhammad SAW.
Dan Para Khalifah
Berdasarkan hadist-hadist
dapat diketahui Tentang kehidupan sufi Rasulullah dan Para Sahabat, bahwa sebenarnya kehidupan
shufi sudah terdapat pada diri nabi Muhammad SAW, yang dapat dilihat dalam
perilaku dan peristiwa dalam kehidupan
beliau sehari-hari yang
amat sederhana dan tahan menderita,
disamping menghabiskan waktunya
untuk beribadah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah, bahkan sejak sebelum beliau diangkat sebagai
Rasul Allah. Demikian
juga banyak tercatat di dalam sejarah
tentang keutamaan pribadi para sahabat. Mereka meneladan langsung akhlak nabi.
Pribadi mereka digembleng oleh
Rasulullah, menjadi manusia-manusia utama yang akan dicontoh dan ditiru oleh
ummat yang dibelakang mereka.[18]
Sebelum
diangkat menjadi Rasul, beliau seringkali melakukan kegiatan shufi dengan berkhalawat
(mengasingkan diri) di Gua Hira,
berbulan-bulan
lamanya, terutama pada bulan Ramadhan, disana nabi banyak berzikir dan bertafakur mendekatkan diri kepada Allah, sampai menerima wahyu pertama saat
diangkat sebagai Rasul Allah.
Pengasingan
diri Nabi di gua Hira ini merupakan acuan utama
para sufi dalam melakukan khalawat. Kemudian puncak kedekatan Nabi dengan Allah
tercapai ketika melakukan Isra Mikraj, nabi telah sampai ke Sidratul muntaha, bahkan telah sampai berdialog dengan Allah, ketika menerima perintah tentang shalat
lima waktu.
Setelah
Beliau resmi diangkat
sebagai Nabi utusan Allah, keadaan dan cara hidup beliau masih ditandai oleh
jiwa dan suasana kerakyatan, yang sederhana,
zuhud, dan tidak pernah terpesona dengan kemewahan dunia meskipun beliau berada
dalam lingkaran keadaan hidup yang serba dapat terpenuhi
semua keinginan lantaran kekuasaannya sebagai Nabi yang menjadi kekasih
Tuhan- Nya. Pada waktu malam sedikit sekali tidur, waktunya dihabiskan
untuk bertawajjuh kepada Allah
dengan memperbanyak dzikir kepada-Nya. Tempat tidur beliau terdiri dari balai
kayu biasa dengan alas tikar dari daun kurma, tidak pernah memakai pakaian
yang terdiri dari wool, meskipun
mampu membelinya. Pendek kata beliau lebih cinta hidup dalam suasana sederhana ( meskipun pangkatnya Nabi ), sehingga dalam salah satu doanya :”Wahai
Allah, Hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin”
(HR.at-Tirmizi, Ibnu Majah dan al-Hakim).[19]
Dalam
satu riwayat dari Aisyah RA
; Suatu
malam nabi mengerjakan shalat malam,
didalam salat lututnya bergetar karena panjang dan banyak rakaatnya. Tatkala
rukuk dan sujud terdengar suara tangisnya namun beliau tetap melaksanakan salat
sampai azan Bilal bin Rabah terdengar diwaktu subuh. Melihat nabi demikian tekun melakukan salat, Aisyah bertanya:Wahai Junjungan,
bukankah dosamu yang terdahulu dan yang akan datang diampuni Allah, mengapa
engkau masih terlalu banyak melakukan salat?Nabi SAW menjawab ;
Aku ingin
menjadi hamba yang banyak bersyukur. (HR.Bukhari dan Muslim).
Selain
itu Nabi banyak berzikir. Beliau berkata: “Sesungguhnya
saya meminta ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya setiap hari tujuh puluh
kali” (HR.at-Tabrani).
Akhlak
Nabi Muhammad merupakan
acuan akhlak yang tidak ada bandingannya. dapat dilihat dalam firman Allah SWT
yang artinya: “Dan sesungguhnya kami (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti
yang agung”. (QS.Al
Qalam:4).
Ketika
Aisyah ditanya tentang Akhlak Nabi SAW, Beliau menjawab: Akhlaknya adalah Al-Qur’an”(HR.Ahmad dan Muslim), dan ;
Surat
Al-Ahzab ayat 21 : Sesungguhnya
telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut nama Allah.”.
Rasulullah tidak
membenci dunia, tetapi tidak mau terpengaruh oleh urusan dunia. Para sahabat pernah berhimpun di rumah
Utsman bin Mazhun Al-Jumahy yang terdiri dari ; Ali, Abu Bakar, Abdullah bin
mas’ut, Abu Zar, Salim Maula, Abi Huzaifah, Abdullah bin Umar, Miqdad bin
Aswad, Salman Al-Farisi, Ma’qal bin Muqrin dan tuan rumah, mereka bermusyawarah untuk berpuasa
siang hari, tidak tidur di atas
kasur, tidak memakan daging dan lemak, tidak mendekati istri, tidak memakai
minyak wangi, akan memakai wool kasar, akan meninggalkan dunia, akan
mengembara di muka bumi. Maka Rasulullah SAW. bersabda : Sesungguhnya aku tidak menyuruh
yang demikian ! Sesungguhnya ada hak kewajibanmu
terhadap dirimu, maka puasalah kamu dan berbuka, bangunlah dan beribadat pada
malam hari dan tidur, aku berpuasa dan berbuka, aku makan daging dan lemak, aku
datangi perempuan-perempuan. Barang siapa yang tidak suka kepada sunnahku itu,
maka tidaklah dia termasuk sebagian dari ummatku. Kemudian dihimpunnya orang
banyak lalu lalu ia berkhutbah dihadapan mereka, katanya : apakah halnya dengan
beberapa kaum, mereka mengharamkan perempuan, makanan, wangi-wangian, tidur dan
syahwat dunia ? Ketahuilah bahwa aku tidak menyuruh kamu menjadi
pendeta-pendeta dan rahib-rahib. Maka sesungguhnya tidak ada di dalam agamaku
meninggalkan makan daging dan meninggalkan perempuan dan tidak pula
membuat-buat ibadat. Dan bahwasanya perlawatan ummatku ialah puasa dan
rubbaniyyah (kebiasaan) mereka adalah jihad. Sembahlah Allah dan jangan
sekutukan sesuatu dengan Dia. Kerjakanlah haji dan umroh, dirikanlah shalat,
keluarkan zakat, puasalah di bulan Ramadhan dan tetaplah atas yang demikian,
niscaya kamu akan dimantapkan. Sesunggguhnya orang-orang yang dahulu dari pada
kamu binasa sebab memberat-beratkan (urusan agama). Mereka berat-beratkan atas
diri mereka, lantas diberatkan pula oleh Allah. Maka itulah
peninggalan-peninggalan mereka pada gereja dan tempat-tempat peribadatan.
Kehidupan
para sahabat juga dapat dijadikan
acuan oleh para sufi sebagai
murid langsung Rasulullah ;
Abu Bakar al-Siddiq yang
hartawan termasyur dengan kedermawanannya, ketaatan, tawadlu’, wara’ dan
mempunyai pribadi yang mulia,
sehingga
ia mendapat tempat yang utama di hati Rasulullah, ia telah mengorbankan harta bendanya
secara keseluruhan untuk kepentingan agama. Pada mulanya ia adalah salah
seorang Kuraisy yang kaya. Setelah masuk Islam, ia menjadi orang yang sangat
sederhana. Ketika menghadapi perang Tabuk, Rasulullah bertanya kepada para
sahabat ; Siapa yang bersedia memberikan
harta bendanya dijalan Allah. Abu Bakarlah yang
pertama menjawab: Saya ya Rasulullah. Akhirnya
Abu Bakar memberikan seluruh harta-bendanya
untuk jalan Allah. Melihat demikian, Nabi bertanya : Apalagi yang tinggal
untukmu wahai Abu Bakar? ia menjawab:Cukup bagiku Allah dan Rasul-Nya.”
Diriwayatkan
bahwa selama enam hari dalam seminggu Abu Bakar selalu dalam keadaan lapar.
Pada suatu hari Rasulullah SAW pergi kemesjid. Disana Nabi SAW bertemu Abu
Bakar dan Umar bin Khattab, kemudian ia bertanya: Kenapa anda
berdua sudah ada di mesjid?Kedua sahabat menjawab:”Karena menghibur lapar.”
Diceritakan bahwa Abu Bakar hanya memiliki sehelai pakaian. Ia
berkata: Jika seorang hamba begitu
dipesonakan oleh hiasan dunia, Allah membencinya sampai ia meninggalkan
perhiasan itu. Oleh
karena itu Abu Bakar memilih takwa sebagai ”pakaiannya.” Ia menghiasi dirinya
dengan sifat rendah hati, santun, sabar, dan selalu mendekatkan diri kepada
Allah dengan ibadah dan zikir.
Setelah Abu Bakar dipilih sebagai Khalifah, maka ia menyampaikan
ucapannya yang pertama pada orang ramai: "Saudara-saudara
sekalian, saya sudah terpilih untuk
memimpin kamu semua, dan saya bukanlah orang yang terbaik diantara kamu
sekalian. Kalau saya berlaku baik bantulah saya, kalau anda sekalian melihat
saya salah, maka luruskanlah. Kebenaran adalah suatu amanah, dan dusta
adalah pengkhianatan. Ikutlah saya selama saya taat kepada
perintah Allah dan RasulNya. Tetapi apabila saya melanggar (perintah) Allah dan
RasulNya maka tidak wajib anda sekalian mentaati saya. sekalian." [20]
Umar
bin Khattab terkenal
dengan keheningan jiwa dan kebersihan kalbunya, sehingga Rasulullah SAW
berkata:” Allah telah menjadikan
kebenaran pada lidah dan hati Umar.” Umar
menghabiskan malamnya beribadah,
demikian dilakukan untuk mengibangi waktu siangnya yang banyak disita untuk
urusan kepentingan umat.
Umar bin Khattab ra. Pekerjaan sehari-harinya adalah
berdagang, setelah
menjabat sebagai khalifah, ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas
sobekan, Beliau mengumpulkan rakyatnya di Madinah Munawwarah, lalu
beliau berkata : Saya biasa
berdagang, sekarang kalian telah memberiku suatu kesibukan sehingga saya tidak
dapat berdagang lagi. Sekarang bagaimana dengan mata pencaharian saya?” orang-orang
berselisih pendapat
tentang jumlah tunjangan bagi Umar ra. Sedangkan Ali ra. Hanya berdiam diri.
Umar ra. Bertanya kepadanya ; bagaimanakah pendapatmu wahai Ali?” jawab Ali ra. “
ambilah uang sekadar untuk mencukupi keperluan keluargamu.” Umar sangat menyetujui usul Ali ra. Maka ditentukanlah uang
tunjangan untuk Umar ra. Beberapa
lama kemudian, beberapa orang sahabat termasuk Ali ra, Utsman ra, Zubair ra,
dan Thalhah ra. Mengusulkan agar tunjangan untuk Umar ditambah karena terlalu sedikit. Tetapi tak seorang
pun yang berani mengemukakannya secara langsung kepada Umar. Akhirnya mereka
menemui Hafshah putri Umar, juga ummul mukminin istri Rasulullah. Mereka meminta
agar ia mengajukan usul mereka kepada Umar, tanpa
menyebutkan nama mereka. Ketika Hafshah mengajukan usul tersebut, wajah Umar menjadi merah karena marahnya. Umar bertanya ; siapakah yang mengusulkan ini?, Hafshah menyahut ; “jawablah
dulu bagaimanakah pendapatmu?” Umar ra. Berkata: “andaikan saya tahu siapakah
mereka itu, niscaya akan saya tampar wajah mereka. Hafshah ceritkanlah tentang
pakaian Nabi saw. Yang terbaik yang pernah beliau miliki di rumahnya, “Hafshah
r.ha. menjawab,” beliau memiliki dua pakaian berwarna kemerahan yang
biasa beliau kenakan pada hari Jum’at atau ketika menemui tamu. kata Umar
ra. “sebutkan makanan apakah yang terlezat, yang pernah dimakan oleh Nabi saw.
Di rumahmu?” jawab Hafshah r.ha. “roti yang terbuat dari tepung kasar lalu
dicelupkan ke dalam kaleng berisi minyak. Kami memakannya ketika masih panas,
kemudian dilipat menjadi beberapa lipatan. Pernah suatu hari saya menyapu sekerat
roti dengan bekas-bekas mentega yang terdapat dalam sebuah kaleng minyak yang
hampir kosong. Beliau saw. Memakannya dengan penuh kenikmatan, dan beliau juga
ingin membagi-bagikannya kepada orang lain.” Umar ra. Berkata, “sebutkanlah apa
alas tidur terbaik yang pernah digunakan oleh Rasulullah saw. Di rumahmu?”
hafshah r.ha. menjawab, “sehelai kain tebal, pada musim panas, kain itu dilipat
menjadi empat, dan pada musim dingin dilipat menjadi dua, separuh digunakan
untuk alas tidurnya dan yang separuh lagi untuk selimutnya. “Umar ra. Berkata,
nah Hafshah, sekarang pergilah dan katakan kepada mereka bahwa Nabi saw. telah
menunjukkan contoh kehidupan yang terbaik, dan aku harus mengikutinya.
Perumpamaanku dengan dua orang sahabatku, yaitu Rasulullah saw. Dan Abu Bakar
ra. Adalah seperti tiga orang musafir yang sedang melalui sebuah jalan yang
sama. Musafir yang pertama telah melalui jalan tersebut dan telah sampai ke tempat tujuan. Adapun yang ketiga
,sekarang baru memulai perjalanannya. jika ia menempuh jalan yang telah mereka
tempuh sebelumnya, maka ia akan menjumpai keduanya di
tempat tujuan yang sama. jika ia tidak menempuh jalan mereka yang mendahuluinya,tentu
ia tidak akan sampai ke tempat mereka.
Diceritakan,
Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khatab, ketika masih kecil bermain dengan
anak-anak yang lain. Anak-anak itu semua mengejek Abdullah karena pakaian yang
dipakainya penuh dengan tambalan. Hal ini disampaikannya kepada ayahnya yang
ketika itu menjabat sebagai khalifah. Umar merasa sedih karena pada saat itu
tidak mempunyai uang untuk membeli pakaian anaknya. Oleh karena itu ia membuat
surat kepada pegawai Baitulmal (Pembendaharaan Negara) diminta dipinjami uang
dan pada bulan depan akan dibayar dengan jalan memotong gajinya. Pegawai Baitulmal menjawab surat
itu dengan mengajukan suatu pertanyaan, apakah Umar yakin umurnya akan sampai bulan
depan. Maka dengan terharu dengan
diiringi derai air mata , Umar menulis lagi sepucuk surat kepada pegawai Baitul
Mal bahwa ia tidak lagi meminjam uang karena tidak yakin umurnya sampai bulan
yang akan datang.
Pada suatu
saat, ketika Umar ra. Sedang menikmati makanannya, datanglah pelayan beliau
memberitahukan bahwa Utbah bin Abi Farqad ingin menemui beliau. Setelah Umar
ra. Mengijinkannya, masuklah Utbah ra. Lalu beliau mengajaknya untuk makan
bersama. Utbahpun menerima tawaran tersebut. Tetapi roti yang di hidangkan
adalah roti keras dan tebal sehingga ia sangat kesulitan untuk menelannya. Ia
bertanya ;
mengapa engkau tidak menggunakan
tepung yang baik untuk membuat roti? “jawab Umar ra. Apakah semua orang islam
mampu memakan roti dari tepung yang baik? Sahut Utbah, “tidak semuanya.’ Umar
ra. Berkata, tampaknya engkau ingin agar saya menikmati semua jenis kenikmatan
hidup didunia ini .
Usman bin Affan adalah seorang
hartawan yang dermawan, telah memberikan sebagian dari hartanya untuk kepentingan
agama. Bila ia berada di rumah, tak pernah lepas Al-Qur’an dari tangannya.
Beliau kerap kali mentilawahkan Al-Qur’an dan memahami kandungannya sampai
larut malam.
Usman
bin Affan yang menjadi teladan para sufi dalam banyak hal. Usman adalah seorang
yang zuhud, tawaduk (merendahkan diri dihadapan Allah SWT), banyak mengingat
Allah SWT, banyak membaca ayat-ayat Allah SWT, dan memiliki akhlak yang
terpuji. Diriwayatkan ketika menghadapi Perang Tabuk, sementara kaum muslimin
sedang menghadapi paceklik, Usman memberikan bantuan yang besar berupa
kendaraan dan perbekalan tentara.
Diriwayatkan
pula, Usman telah membeli sebuah telaga milik seorang Yahudi untuk kaum
muslimin. Hal ini dilakukan karena air telaga tersebut tidak boleh diambil oleh
kaum muslimin.
Dimasa
pemerintahan Abu Bakar terjadi kemarau panjang. Banyak rakyat yang mengadu
kepada khalifah dengan menerangkan kesulitan hidup mereka. Seandainya rakyat
tidak segera dibantu, kelaparan akan banyak merenggut nyawa. Pada saat paceklik
ini Usman menyumbangkan bahan makanan sebanyak seribu ekor unta.
Ali
bin Abi Thalib termasyhur dengan tawadlu’nya, beliau tidak malu memakai pakaian
yang bertambal-tambal, bahkan ia sendiri pulalah menambalnya. Ali
bin Abi Talib yang tidak kurang pula keteladanannya dalam dunia kerohanian. Ia
mendapat tempat khusus di kalangan para sufi. Bagi mereka Ali merupakan guru
kerohanian yang utama. Abu
Ali ar-Ruzbari , seorang tokoh sufi, mengatakan bahwa Ali dianugerahi Ilmu
Laduni. Ilmu itu, sebelumnya, secara khusus diberikan Allah SWT kepada Nabi
Khaidir AS, seperti firmannya yang artinya:…”dan telah Kami ajarkan padanya
ilmu dari sisi Kami.” (QS.Al Kahfi:65).
D. Sejarah
Perkembangan Tashawwuf
Berbicara masalah sejarah
tashawwuf sesungguhnya sama dengan pertumbuhan dan perkembangan islam itu
sendiri, bahwa mengenali sejarah tasawuf sama saja dengan memahami
potongan-potongan sejarah Islam dan para pemeluknya, terutama pada masa Nabi, sebab, secara faktual, tasawuf mempunyai kaitan erat dengan prosesi ritual ibadah yang dilaksanakan oleh para Sahabat di
bawah bimbingan Nabi.
Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam,
sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan
dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah
ada sejak masa kehidupan rasulullah saw, belum dikenal istilah tasawuf, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil
kebudayaan Islam sebagaimana ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Istilah tasawuf baru muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh abu
Hasyimal-Sufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang
namanya.
Dalam sejarah Islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu
muncul aliran zuhud pada akhir abad I H dan permulaan abad II H. Secara
etimologis, zuhud artinya, tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia
untuk ibadah.[21]
Menurut
Harun Nasution, station terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhud yaitu
keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang harus
terlebih dahulu menjadi zahid, sesudahnya barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian
tiap sufi ialah zahid, tetapi tidak
setiap zahid merupakan sufi.[22]
Apabila
tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia
dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan,
maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan”
atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam
posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap
hal-hal yang bersifat duniawi. Berkaitan
dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud
adalah “berpaling dari dunia dan
menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi
kesenangannya dengan semedi (khalwat),
berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”[23] Keadaan seperti ini telah
dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya.[24]
Bagi Abu
Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah
kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah
pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan
duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi
itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari
Tuhannya.[25] Lebih lanjut
at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud
adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi
disaat yang sama diapun zahid. Ustman
bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah
para zahid dengan harta yang mereka
miliki.
Zuhud
menurut Nabi serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari
hal-hal duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam
menghadapi segala sesuatu, sebagaimana diisyaratkan firman – firman Allah yang
berikut : ”Dan begitulah Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil serta
pilihan” (QS.
Al-Baqarah, 2:143) ;“Dan
carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu dari (kebahagiaan) negeri akhirat
dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS.
Al-Qashash, 28:77). Sementara dalam hadits
disabdakan : “Bekerjalah untuk duniamu seakan kamu akan hidup selamanya, dan
bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati esok hari”[26]
Zuhud merupakan
salah satu maqam yang sangat penting
dalam tasawuf. Hal
ini dapat dilihat dari pendapat ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat,meskipun dengan sistematika yang
berbeda – beda, al-Qusyairi
menempatkan zuhud dalam urutan maqam
: al-taubah,al-wara’,al-zuhud, al-tawakkul
dan al-ridla.[27]
Para
peneliti baik dari kalangan orientalis maupun Islam sendiri saling berbeda pendapat tentang
faktor yang mempengaruhi zuhud.
Nicholson dan Ignaz Goldziher menganggap zuhud
muncul dikarenakan dua faktor utama,yaitu : Islam itu sendiri dan kependetaan
Nasrani, sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauhmana dampak faktor
yang terakhir. [28]
Harun
Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal – usul zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen.
Kedua, dipengaruhi oleh Phytagoras yang
megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka
membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang
mempengaruhi timbulnya zuhud dan
sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan
bahwadalam rangka penyucian roh yang telah kotor, sehingga
bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha
dengan faham nirwananya bahwa untukmencapainya orang harus meninggalkan dunia
dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga
mendorong manusia meninggalkan dunia dan mendekatkandiri kepada Tuhan untuk
mencapai persatuan Atman dengan Brahman.[29]
Setelah
periode sahabat berlalu, muncul pula periode tabiin (sekitar abad ke I dan ke
II H). Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah darimasa
sebelumnya. Konflik –konflik sosial politik yang bermula dari masa Usman bin
Affan berkepanjangan sampai masa – masa sesudahnya.Konflik politik tersebut
ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok
kelompok Bani Umayyah,Syiah, Khawarij, dan Murjiah. Pada masa
kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem
pemerintahan monarki, khalifah – khalifah BaniUmayyah secara bebas berbuat
kezaliman – kezaliman, terutama terhadap kelompok Syiah, yakni kelompok lawan
politiknya yang paling gencar menentangnya.Puncak kekejaman mereka terlihat
jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein bin Alibin Abi Thalib di Karbala. Kasus
pembunuhan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam
ketika itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti – hentinya itu membuat
sekelompok penduduk Kufah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati
Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka
menyebut kelompoknya itu dengan Tawwabun
(kaum Tawabin). Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka
mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaumTawabin itu dipimpin
oleh Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi[30]
Disamping
gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosialpun terjadi, hal ini mempunyai
pengaruh yang besar dalam pertumbuhan
kehidupan beragama masyarakat Islam. Pada masa Rasulullah SAW dan para
sahabat,secara umum kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana. Ketika Bani Umayyah
memegang tampuk kekuasaan,hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama
terjadi di kalangan istana.Mu’awiyah
bin Abi Sufyan sebagai khalifah tampak semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi
SAW serta sahabat utama dan semakin dekat dengan tradisi kehidupan raja – raja
Romawi. Kemudian anaknya,Yazid (memerintah 61 H/680 M – 64 H/683M),
dikenalsebagai seorang pemabuk. Dalam sejarah, Yazid dikenal sebagai seorang
pemabuk. Dalam situasi demikian kaum muslimin
yang saleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh,dan tidak
tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Diantara para penyeru tersebut ialah Abu
Dzar al-Ghiffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang
tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dalam
Islam. Sejak saat
itu kehidupan zuhud menyebar luas
dikalangan masyarakat (I dan II
H), sehingga muncul berbagai aliran yaitu :
I.
Aliran
Madinah, sejak masa
yang dini,di Madinah telah muncul para zahid. Mereka kuat
berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-sunnah, dan mereka menetapkan
Rasulullah sebagai panutan kezuhudannya.
Diantara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu Ubaidah al-jarrah (w.18) zuhud aliran ini
tetap bercorak murni Islam dan konsisten pada ajaran –ajaran Islam.
II.
Aliran
Bashrah, Mereka
adalah penganut aliran ahlus sunnah, tapi cenderung pada aliran
mu’tazilah dan qadariyah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan
al-Bashri, Malik ibn Dinar. Corak yang
menonjol dari para zahid Bashrah
ialah zuhud dan rasa takut yang
berlebih –lebihan.
III.
Aliran Kufah, berasal dari Yaman.Aliran
ini bercorak idealistis. Dalam aqidah
mereka cenderung pada aliran Syi’ah dan Rajaiyyah.dan ini tidak aneh, sebab
aliran Syi’ah pertama kali muncul di Kufah. Para tokoh zahid Kufah pada abad pertama Hijriyah
ialah ar-Rabi’ ibn Khatsim (w. 67 H.) .
IV.
Aliran Mesir, Pada abad –
abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran zuhud lain, yang dilupakan para orientalis, dan aliran ini
tampaknya bercorak salafi. Sebagaimana diketahui, sejak penaklukan Islam terhadap
Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu,misalnya Amru ibn
al-Ash, Abdullah ibn Amru ibn al-Ash yang terkenal kezuhudannya, al-Zubair bin Awwam dan Miqdad ibn al-Aswad.
Suatu
kenyataan kelahiran tasawuf bermula dari
gerakan zuhud dalam Islam. Istilah
tasawuf muncul pada
pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250 H.) dengan
meletakkan al-sufy di belakang namanya. Jika pada
akhir abad II ajaran sufi berupa kezuhudan,
maka abad III H, orang sudah
ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana fi mahbub), bersatu dalam kecintaan (ittihad fi mahbub), bertemu
dengan Tuhan (liqa’), menjadi satu
dengan Tuhan (‘ain al jama’), sejak itu
muncul karya –karya tentang tasawuf oleh para sufi pada masa itu seperti
al-muhasibi (w. 243 H.), al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H.), dan al-Junaidi (w.
297 H.) karena itu abad
III H dapat
dikatakan sebagai abad mula tersusunnya ilmu tasawuf.[31]
Tahap pertama Tasawuf (Abad III dan IV H), wacana tentang zuhud mulai digantikan oleh
tasawuf. Ajaran para sufi ini pun tidak lagi terbatas pada promosi gaya hidup
zuhud belaka, dalam tahap ini mulai memperkenalkan disiplin dan
metode tasawuf, termasuk konsep-konsep dan terminologi baru yang sebelumnya tidak
dikenal ; maqâm, hâl, ma‘rifah, tauhîd (dalam maknanya yang khas tasawuf), fanâ’, hulûl,
dan lain-lain. Tokoh-tokohnya termasuk Ma‘ruf Al-Karkhi (w. 200 H), Abu
Sulaiman Al-Darani (w. 254 H), Dzul Nun Al-Mishri (w. 245 H), dan Junaid
Al-Baghdadi. Pada masa itu juga muncul karya-karya tulis yang
membahas tasawuf secara teoretis ini, termasuk karya-karya Al-Harits ibn Asad
Al-Muhasibi (w. 243 H), Abu Said Al-Kharraz (w. 279 H), Al-Hakim Al-Tirmidzi
(w. 285 H), dan Junaid Al-Baghdadi (w. 297 H). Masih di masa ini mulai muncul para sufi yang belakangan dikenal
mempromosikan tasawuf yang berorientasi “kemabukan” (sukr) antara lain Al-Hallaj dan Ba Yazid
Al-Busthami. Di antara ciri tasawuf mereka adalah lontaran-lontaran ungkapan
ganjil yang seringkali susah dipahami dan terkesan melanggar keyakinan umum
kaum Muslim (syathahât atau syathhiyât), semisal
“Akulah Sang Kebenaran” (Anâ Al-Haqq) atau “Tak ada apa pun dalam
jubah—yang dipakai oleh Busthami—selain Allah” (mâ fil-jubbah illâ Allâh),
dan sebagainya.
Tahap Tasawuf Falsafi (Abad VI H), merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan
mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn ‘Arabî adalah tokoh utama
aliran ini, di samping juga Al-Qunawi, muridnya. Sebagian ahli memasukkan
Al-Hallaj dan Abu (Ba) Yazid Al-Busthami juga ke dalam kelompok ini. Aliran ini
kadang disebut juga dengan ‘Irfân (Gnostisisme) karena orientasinya
pada pengetahuan (ma‘rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan hakikat
segala sesuatu.
Tahap Tarekat (Abad VII H dan seterusnya) Meskipun tarekat telah dikenal sejak jauh sebelumnya,
seperti Tarekat Junaidiyyah yang bersumber pada ajaran Abu Al-Qasim Al-Junaid Al-Baghdadi (w. 297 H)
atau Nuriyyah yang didirikan oleh Abu Hasan ibn Muhammad Nuri (w. 295
H), baru pada masa-masa inilah tarekat berkembang dengan pesat. Termasuk di
antaranya: Tarekat Qadiriyyah yang bersumber pada ajaran Abdul Qadir
Al-Jilani (w. 561 H) dari Jilan (termasuk wilayah Iran sekarang), Tarekat
Rifa‘iyyah yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 578 H), dan Tarekat
Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu Najib Al-Suhrawardi (w. 563 H).
BAB
III
A. Riwayat
Hidup Imam Al-Ghazali
Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Imam Al-Ghazali), di dunia barat dikenal dengan
sebutan Al-Gazel, lahir pada tanggal
17
Jumadil Awal tahun 450 Hijriah
(1058 Masehi) di kota Thusi (Iran), memiliki
seorang saudara yang bernama Ahmad, adalah seorang ahli sains sekaligus ulama’ besar, tokoh
tashawwuf terkemuka yang sangat
terkenal, yang berhasil menyusun gagasan
tashawwuf yang menciptakan kompromi antara syari’at dan hakikat atau tashawwuf
menjadi bangunan baru yang cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari
kalangan syar’I ataupun lebih-lebih kalangan sufi, dengan karya
besarnya yang amat terkenal, kitab, “Ihya’ ‘Ulumuddin”.
Ayah beliau seorang
fakir yang shalih, pengrajin
kain shuf (kulit domba), selalu berkeliling
mengujungi ahli fikih dan majelis ceramah nasihat dan bermajelis
dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya dan selalu berdoa diberi anak
yang faqih dan ahli dalam ceramah
nasihat. Allah
mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang
faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah
nasihat.
Menjelang
wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan
orang yang baik. Dia berpesan ; “Sungguh
saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin
memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon
engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk
keduanya.” Setelah ayahnya meninggal, temannya tersebut mengajari keduanya
ilmu sehingga habis harta peninggalan yang sedikit tersebut, Ia dan adiknya
disarankan belajar pada sebuah madrasah, sekaligus untuk menyambung hidup
mereka (465 H).
Imam Al-Ghazali belajar fikih dari
Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di Thusi, kemudian pergi ke Jurjan belajar kepada Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat, selanjutnya pergi ke kota Naisabur berguru pada
Imam Haramain Al Juwaini, sehingga
berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf,
ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat yang membuat
kagum gurunya, Al Juwaini.
Setelah Al
Juwaini meninggal, ia pergi ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik, tempat berkumpul
para ahli ilmu, menantang debat para
ulama dan mengalahkan mereka, hingga Nidzamul
Malik mengangkatnya jadi
pengajar di Madrasah Nidzamiyah Baghdad(484 H), disinilah
beliau berkembang, mencapai
kedudukan yang sangat tinggi dan menjadi terkenal. Namun kedudukan dan ketinggian jabatan tidak membuatnya
congkak dan cinta dunia, dalam
jiwanya berkecamuk perang bathin yang
membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan, la mengangkat saudaranya Ahmad
sebagai penggantinya, lalu meninggalkan Bagdad, kemudian pergi naik haji
ke tanah suci Mekah (488 H).
Tahun 489 H beliau masuk kota
Damaskus, menziarahi
Baitul Maqdis, kemudian kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus.
Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di
masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah), tinggal di
sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun
Nadzar, melatih jiwa
dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10
tahun[32]
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa
Khurasan, beliau diminta tinggal di Naisabur untuk mengajar di madrasah An Nidzamiyah, beberapa tahun kemudian pulang ke negerinya mendirikan
satu madrasah dan asrama untuk orang-orang shufi di
samping rumahnya.
Pada masa akhir hidupnya Imam Al-Ghazali menghabiskan
waktunya mengajar para penuntut ilmu, beribadah,
mengkhatam
Al-Qur’an, berkumpul dengan ahli
ibadah, kembali mempelajari hadits sampai meninggal
dunia. Berkata Imam
Adz Dzahabi ;
“Pada akhir
kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta
menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur
panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum
sempat meriwayatkan hadits dan tidak
memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”
Abul Faraj
Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal
Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya) ; Pada subuh
hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya, lalu beliau
mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata ; “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian
beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit
menguning (menjelang pagi hari). Beliau wafat
di kota Thusi, hari Senin, 14 Jumada
Akhir tahun 505 H, dikuburkan
di pekuburan Ath Thabaran.
B. Pemikiran Tashawwuf Imam Al-Ghazali
Sebagai tokoh sufi, Imam
Al-Ghazali dikenal sebagai seorang ulama usul fiqh dengan karyanya al-mustashfa,
juga sebagai tokoh filsafat dengan karyanya Tahafut al-Falasifah yang
mengkritik konsep berfikir para filosof saat itu. Ia menganggap ajaran
pemikiran filsafat para filosof telah melewati batas, sehingga menimbulkan
kehawatiran mendalam dalam dirinya akan rusaknya akidah kaum filsafat, karena
itu beliau berinisiatif untuk meluruskan pemikiran filsafat dengan menggagas kaedah-kaedah tasawuf sebagai
jembatan guna mendamaikan syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami clash
pada zaman itu, yang berhasil terkumpul dalam karya terbesarnya yang terkenal,”Ihya’ U’lum al-Din” (The
Revival of Religion Sciences).
Menurut Imam Al-Ghazali, tema
ilmu sufi adalah Dzat, sifat dan
perbuatan Allah, buah dari
pengetahuan tentang Allah adalah timbulnya sikap mencintai Allah, karena cinta
tidak akan muncul tanpa “pengetahuan” dan perkenalan. Buah lain dari
pengetahuan tentang Allah adalah “tenggelam dalam samudra Tauhid”, karena
seorang ‘arif tidak melihat apa-apa selain Allah, tidak kenal selain Dia,
di dalam wujud ini tiada lain kecuali Allah dan perbuatan-Nya. Tidak ada
perbuatan yang dapat dilihat manusia kecuali itu adalah perbuatan Allah. Setiap
alam adalah ciptaan-Nya. Barang siapa melihat sesuatu sebagai hasil perbuatan
Allah, maka ia tidak melihat kecuali dalam Allah, ia tidak menjadi arif kecuali
demi Allah, tidak mencintai kecuali Allah. Kata beliau; “Mereka melatih hati, hingga Allah memperkenankan melihatNya.
Para sufi banyak berbicara tentang kasyf dan mu’ayanah,
mampu berhubungan dengan alam malakut dan belajar darinya secara langsung,
mampu mengetahui lauhul-mahfuzh dan rahasia-rahasia yang dikandungnya, namun bagaimanakah
caranya agar manusia mampu mendapatkan kasyf dan mu’ayanah? Para sufi menjawab,
caranya dengan menuntut ilmu dan mengamalkannya. Al-Ghazali mengatakan ; “Aku tahu bahwa
tarekat mereka menjadi sempurna dengan ilmu dan amal”
Jalan pertama, yaitu Ilmu, Imam Al-Ghazli
mulai mendapatkan ilmu kaum sufi dari kitab Qut Al-Qulub Mu’amalah Al-Mahbub
karya Abu Thalib Al-Makki dan kitab Ar-Ri’ayah li Huquq Allah
karya Harits Al-Muhasibi, serta ucapan-ucapan pucuk pimpinan sufi
semisal Al-Junaidi, As-Syibli, Al-Busthami, dan lain-lain. Katanya ; “Mendapatkan
ilmu Tasawuf bagiku lebih mudah dari pada mengamalkannya. Aku mulai mempelajari
ilmu kaum sufi dengan menelaah kitab-kitab dan ucapan-ucapan guru-guru mereka.
Aku mendapatkan ilmu dengan cara mendengar dan belajar. Nampaklah bagiku bahwa
keistimewaan guru besar sufi tidak mungkin digapai dengan cara belajar, tetapi
dengan cara dzauq, hal, dan memperbaiki sifat diri.”
Jalan kedua, yaitu
dengan cara Tahalli (menghias diri dengan sifat-sifat utama), Tkhalli
(membersihkan diri dari sifat-sifat yang rendah dan tercela) agar manusia
dapat memberesihkan hati dari pikiran selain Allah dan menghias hati dengan
berzikir kepadaNya. Katanya ; “Adapun manfaat yang dicapai dari ilmu sufi
adalah terbuangnya aral yang merintangi jiwa, mensucikan diri dari akhlaknya
yang tercela dan sifatnya yang kotor, hingga dengan jiwa yang telah bersih itu
hati menjadi kosong dari selain Allah dan dihiasi dengan dzikir kepada Allah.” [33]
Dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, ia menulis ; “Bagi hati, ada dan
tiadanya sesuatu adalah sama. Lantas, bagaimanakah hati meninggalkan semua
urusan Dunia? Demi Allah, ini adalah jalan yang sangat sukar, jarang sekali ada manusai yang sanggup
melakukannya” [34]
Imam
Al-Ghazali di kenal sebagai orang yang haus ilmu pengetahuan, ia berusaha keras agar dapat
mencapai suatu keyakinan dan mengetahui hakikat
segala sesuatu, selalu bersikap
kritis dan kadang tidak percaya terhadap adanya kebenaran semua
macam pengetahuan, kecuali yang bersifat inderawi
dan pengetahuan hakikat (oxioma atau sangat mendasar). Namun pada kedua pengetahuan inipun ia akhirnya tidak percaya
(skeptis). Hal ini ia ungkapkan dalam kitab Al Mungidz : “Sikap skeptis yang menimpa diriku dan yang berlangsung lama telah berakhir dengan suatu keadaan, dimana diriku tidak mempercayai
kepada pengetahuan inderawi, bahkan keraguan-keraguan ini semakin mendalam, bagaimana pengetahuan inderawi itu bisa diterima seperti
misalnya penglihatan sebagai inderawi.”
Cukup lama Al-Ghazali berada dalam situasi tarik menarik antara dorongan
hawa nafsu dan panggilan akhirat, hingga akhirnya membuat hatinya sedih dan
kondisi fisiknya lemah, sampai-sampai dokter putus asa mengobatinya. Para
dokter mengatakan ; “Penyakitnya bersumber dari hati dan merembet ke
tubuhnya. Penyakitnya tidak bisa diobati kecuali mengistirahatkan pikiran dari
factor-faktor yang membuatnya sakit”
Disaat menyadari ketidak
mampuan dan semua upaya telah gagal, akupun mau tak mau harus kembali pada
Allah dalam keadaan yang terpaksa dan tidak mempunyai pilihan lagi. Allah menjawab doa yang terpaksa jika berdoa mengabulkan
niatku, hinngga kini terasa mudah bagiku meninggalkan pangkat, harta, anak, dan
teman.” [35]
Setelah Al-Ghazali melihat bahwa ahli ilmu kalam, filosof dan kaum batiniyah
tidak mampu mengantarkannya mencapai keyakinannya dan hakikat, maka dia melirik
tasawuf, menurut pandangannya adalah harapan terakhir yang bisa memberikannya
kebahagiaan dan keyekinan. Ia mengatakan ; “setelah aku mempelajari
ilmu-ilmu ini (kalam, filsafat, dan ajaran bathiniyah), aku mulai menempuh
jalan para sufi.”
Pemikiran Tashawwuf Imam Al-Ghazali bercorak Tashawwuf Islam Sunni yang didirikan diatas pilar Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Ia berusaha mengembalikan tema-tema tentang Akhlaq, Suluk, atau Hal
pada sumber Islam, beliau mengatakan : “Saya tahu benar bahwa para Sufi adalah para pencari jalan Allah, dan bahwa
mereka melakukan yang terbaik,
dan jalan mereka adalah jalan terbaik dan akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka
menjadikan mereka sebagai
jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi [36]”
Corak
tasawuf Imam Al-Ghazali lebih ditekankan
pada adab dan tata krama., beliau berkata:Adab
adalah pendidikan dhohir dan bathin, oleh karenanya apabila seorang hamba telah berbuat baik secara dhohir
dan bathin maka ia telah menjadi sufi yang beradab. Barang siapa selalu
berperilaku sesuai dengan Sunah maka akan menerangi hatinya dengan cahaya
kemarifatan karena tidak ada kedudukan yang lebih
mulia dari mengikuti Nabi Muhammad yang dicintai Allah dalam
perintah, perbuatan, dan ahlaknya, baik dalam niat, ucapan maupun
perbuatan.
Imam
Al - Ghazali menghimpun akidah, syariat
dan akhlak dalam suatu sistematika yang kuat dan amat berbobot, karena itu teori
- teori tashawwufnya lahir dari kajian
dan pengalaman pribadi setelah melaksanakan suluk dalam riyadhah dan mujahadah
yang intensif dan berkesinambungan, dalam pandangannya, Ilmu Tasawuf mengandung
2 bagian penting, pertama menyangkut ilmu mu'amalah dan bagian kedua
menyangkut ilmu mukasyafah, menurutnya, perjalanan tashawwuf
hakekatnya adalah pembersihan diri dan pembeningan hati terus menerus sehingga
mampu mencapai musyahadah, ia menekankan pentingnya pelatihan jiwa, penempatan
moral atau akhlak yang terpuji baik disisi manusia
maupun Tuhan (Ajaran tashawwuf psikomoral) yang mengutamakan
pendidikan moral, dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti ; Ihya’ullum,
Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin,
Ayyuhal Wlad.
Satu hal mencolok yang
dilakukan Imam Al-Ghazali pada tasawuf adalah upayanya dalam mengalihkan
tema-tema Dzauq (rasa), Tahliq (terbang), Syathahat, dan Tahwil menjadi
nilai-nilai yang praktis. Ia mengobati hati dan bahaya jiwa, lalu mensucikannya
dengan akhlaq yang mulia. Upaya ini nampak jelas terlihat dalam kitab
Al-Ihya’-nya. Ia bebicara tentang akhlaq yang mencelakakan(al-Muhlikat) dan
akhlaq yang menyelamatkan (al-Munjiyat). Al-Muhlikat adalah setiap akhlaq yang
tercela (madzmum) yang dilarang al-Qur’an. Jiwa harus dibersihkan dari akhlaq
yang tercela ini. Al-Munjiyat adalah akhlaq yang terpuji (mahmud), sifat yang
disukai dan sifatnya orang-orang muqarrabin dan shiddiqin, dan menjadi alat
bagi hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam. [37]
Ketika beragam kecenderungan berfikir, baik yang bernuansa agama maupun
rasio, berbenturan dan beradu argumentasi, Imam Al-Ghazali merasakan dirinya
berhadapan dengan samudera luas, dengan gulungan ombak yang sangat dahsyat dan
dalam, ia tidak memposisikan dirinya sebagai “penggembira” yang hanya
ikut-ikutan dalam gelombang dahsyat itu, ia tidak merasa takut terhadap luasnya
samudera, kedalaman dasar samudera dan besarnya gelombang.[38] Al-Ghazali merasakan dirinya
di antara mazhab yang terpecah belah, kelompok-kelompok perusak, filsafat asing
dan bid’ah-bid’ah pemikiran, sebagaimana tergambar dalam bait kata-katanya yang
begitu menggugah hati dengan gemuruh semangat dan keberanian ; ketika masih
muda, aku menyelami samudera yang dalam ini. Aku menyelaminya sebagai penyelam
handal dan pemberani, bukan sebagai penyelam penakut dan pengecut. Aku
menyerang setiap kegelapan dan mengatasi semua masalah, menyelami kegoncangan.
Aku teliti aqidah setiap kelompok dan menyingkap rahasia cara pikir setiap
golongan, agar aku bisa membedakan antara kelompok yang memperjuangkan
kebenaran dan kelompok yang memperjuangkan kebathilan, agar bisa membedakan
antara pengikut sunnah dan pencipta bid’ah”.
Imam Al-Ghazali berupaya
membersihkan tasawuf dari ajaran-ajaran asing yang merasukinya, agar tasawuf
berjalan di atas koridor Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia menilai negatif terhadap
syathahat dan sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud) sebagaimana
yang di propagandakan oleh al-Hallaj dan lainnya., untuk itu ia menyodorkan
paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila
Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya, ia menjauhkan semua
kecenderungan genotis yang mempengaruhi para filosuf Islam, sekte Isma'iliyah,
aliran Syi’ah, Ikhwan al-Shofa, paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi
dan penyatuan.
C.
Pandangan Imam Al-Ghazali Tentang Syari’at
Imam Al-Ghazali teguh memegangi syari’at, Tashawwuf dilakukan
dengan memegang teguh dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga
dalam perilaku dan ucapannya, ia mengatakan
; “seorang arif sejati mengatakan, “jika
kamu melihat seorang manusia mampu terbang di awang-awang dan mampu berjalan di
atas air, tetapi ia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syari’at, maka
ketahuilah dia itu setan.” [39] Dan secara terus terang ia menyatakan ; seseorang yang telah mendapatkan
penyingkapan (kasyf) dan penyaksian (musyahadah) tidak layak mengeluarkan suatu
ucapan yang bertentangan dengan aqidah Islam, yakni aqidah tauhid murni yang
membedakan mana Tuhan dan mana hamba, serta menegaskan bahwa Tuhan adalah Tuhan dan hamba adalah hamba.
Itulah aqidah yang dipegang teguh Al-Ghazali.[40] Lebih jauh, Al-Ghazali menyatakan ; bahwa kebersatuan dengan Tuhan (ittihad)
secara rasional tidak mungkin terjadi.
Dari susunan
Ihya’ ‘Ulum al-Dien tergambar pokok pikiran Al-Ghazali mengenai hubungan
syariat dan hakekat atau tasawuf ; Sebelum mempelajari dan mengamalkan
tasawuf orang harus memperdalam ilmu tentang syari’at dan aqidah telebih
dahulu. Tidak hanya itu, dia harus konsekuwen menjalankan syari’at dengan tekun
dan sempurna. Sesudah menjalankan
syari’at dengan tertib dan penuh pengertian, baru dimulai mempelajari tarekat.
Yaitu tentang mawas diri, pengendalian nafsu-nafsu, dan menjalankan dzikir,
hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyfi atau penghayatan ma’rifat.
Salah satu
tuduhan yang kerap dialamatkan kepada tasawuf adalah bahwa tasawuf mengabaikan
atau tidak mementingkan syari’at. Tuduhan ini berlaku hanya bagi kasus-kasus
tertntu yang biasanya terdapat dalam tasawuf tipe “Keadaan Mabuk”(sur,
intoxication), yang dapat membedakan dari tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”(sahw,
sobiety). Para sufi “yang mabuk”
merasakan keintiman denga Tuhan dan sangat yaqin pada kasih sayangNya,
sedangkan para sufi “yang-tidak-mabuk” dikuasai rasa takut dan hormat
kepada Tuhan dan tetap khawatir terhadap kemurkaanNya. Yang pertama cenderung kurang mementingkan syari’at dan menyatakan
terang-terangan persatuan denagan Tuhan, sedangkan yang kedua memelihara
kesopanan (adab) terhadap Tuhan, sangat
menekankan pentingnya syari’at. tasawuf tidak dapat dipisahkan dengan syri’at, karena
syri’at adalah jalan awal yang harus ditempuh untuk menuju tasawuf.
Dalam Al-Futuhat
Al-Makkiyah, Ibn Al-‘Arabi menyatakan ; “jika engkau betanya apa itu tasawuf ? Maka kami
menjawab, tasawuf adalah mengikatkan diri kepada kelakuan-kelakuan baik
menurut syri’at secara lahir dan batin dan itu adalah akhlaq mulia. Ungkapan-ungkapan
kelakuan baik menurut syari’at dalam perkataan Ibn al-‘Arabi ini menunjukkan
bahwa tasawuf harus berpedoman pada syari’at. Menurut sufi ini, syari’at adalah
timbangan dan pemimpin yang harus di ikuti dan diikuti oleh siapa saja yang
menginginkan
keberhasialan tasawuf.
Sebagaimana
Ibn al’Arabi, Hussen Naser, seorang pemikir dari Iran berulangkali menekankan ; bahwa tidak ada tasawwuf tanpa syari’at. Islam sebagai
agama sangat
menekankan keseimbangan memanifestasikan dirinya dalam kesatuan syari’at (hukum
Tuhan) dan tharikat (jalan spiritual), yang sering disebut sufisme atau
tasawuf. Apabila syari’at adalah dimensi eksoteris Islam, yang lebih banyak
berurusan aspek lahiriyah, maka tharikat adalah dimensi esoteric Islam, yang
lebih banyak berurusan dengan aspek bathiniyah. Pentingnya
menjaga kesatuan
syari’at dan tharikat dituntut oleh kenyataan bahwa segala sesuatu di alam ini,
termasuk manusia, mempunyai aspek lahiraiyah dan
bathiniyah. Ajaran-ajaran Islam dinamakan
Syari’at Islam, yang mencakup
segenap peraturan-peraturan Allah, yang dibawa/disampaikan oleh Nabi Muhammad,
untuk seluruh manusia, dalam mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
menusia sesamanya dan hubungannya dengan makhluk lain. Dan peraturan itu
berfaedah untuk mensucikan jiwa manusia dan menghiasinya
dengan sifat-sifat yang utama. Inilah pengertian syari’at yang biasa dipakai
oleh para Ulama’ Salaf. [41]
Tasawuf
adalah satu cabang dari Syari’at Islam, seperti halnya dengan Tauhid (aqidah) dan
fiqih yang merupakan cabang dari Syari’at Islam. Seperti di dalam hadist yang
diriwayatkan dari Umar ra, yang mengisayaratkan tiga unsure dasar syari’at
Islam tentang ; Islam, Iman
dan Ihsan.[42]
Ihsan termasuk
amal hati dalam hubungan dengan ma’bud (Tuhan). Ini tidak
dipelajari dalam ilmu kalam dan fiqh, tetapi dalam Tasawuf. Adapun yang berkenaan dengan amal lahir seperti shalat,
puasa, zakat dan haji, itulah yang dipelajari dalam ilmu fiqh, yang menyangkut
soal aqidah dipelajari di dalam ilmu Kalam.[43]
Selain dari
Ihsan, tasawuf juga membahas tentang hubungan manusia
dengan sesamanya yang disebut akhlaq,
seperti halnya dengan fiqh, selain membahas
tentang rukun Islam juga
membahas tentang muamalat maliah, jinayat, munahkat dan qoda’, karena persoalan
ini erat hubungannya dengan masalah pokok
yang disebutkan Nabi di atas (Islam,
Iman, Ihsan), contoh ; tentang
penyakit dengki (hasad).
Dengki
menurut hadist Rasul dapat memakan amal seperti api
memakan kayu bakar. Dari hadist ini (tentang Islam, Iman, Ihsan) dapat
dipahamkan bahwa dengki yang merusak hubungan dengan sesama manusia
juga dapat merusak hubungan dengan Tuhan. Karena itu masalah akhlaq yang
tercela dan akhlaq yang terpuji yang tumbuh di dalam hati dapat dipelajari
dalam ilmu Tasawuf. Dengan ini jelas, betapa kedudukan Tasawuf dengan rangkaian
syari’at Islam.[44]
Tasawuf
Islam tidak akan ada kalau tidak ada Tauhid. Tegasnya tiada guna pembersihan hati kalau tidak beriman. Tasawuf Islam
sebenarnya adalah hasil dari aqidah yang murni dan kuat yang seseuai dengan
kehendak Allah dan RasulNya.[45]
Sungguh
sudah banyak penganut Tasawuf yang tergelincir di bidang ini. Banyak para Shufi
yang telah mengaku dirinya Tuhan atau manifestasi Tuhan. Ada pula yang mengaku
bahwa para Nabi lebih rendah derajatnya dari para wali. Ada yang mengi’tikadkan
bahwa ibadat-ibadat yang kita kerjakan tidak sampai kepada Tuhan kalau tidak
dengan merabithahkan guru lebih dahulu. Dan bayak macam-macam I’tiqad yang
sesat yang bersumber dari akal filsafat pemikiran manusia. Oleh sebab itu untuk
mendalami tasawuf Islam terlebih dahulu harus dimatangkan
pengertian Tauhid Islam. Amal Tasawuf akan rusak binasa kalau tidak didahului
oleh pengertian tentang Tauhid. Demikianlah
hubungan antara ilmlu Tasawuf dengan ilmu Tauhid (syari’at). Tasawuf tidak aka
nada kalau tidak ada Tauhid dan Tauhid tidak akan tumbuh subur dan berbuah
lebat kalau tidak ada Tasawuf.[46]
Kemudian soal pendalaman perasaan agama dan pemantapan
iman, Imam Al-Ghazali melihat bahwa
tasawuf adalah sarana yang hebat untuk untuk mendukung bagi pendalaman rasa
agama (spiritualitas Islam) dan untuk memantapkan dan menghidupkan iman. Dengan
ilmu kalam orang baru bisa mengerti tentang pokok-pokok keimanan, namun tidak
bisa menanamkan keyakinan yang mantap dan menghidupkan pengalaman agama. Oleh
karena itulah tasawuflah sarana yang paling hebat untuk mengobati penyakit
formalism dan kekeringan rasa keagamaan ini menurut Al-Ghazali.[47]
Yang menjadi masalah kemudian, bagaimana cara
mengawinkan dan mengkompromikan tasawuf dengan syari’at itu? Atau dengan kata
lain bagaimana mengkompromikan syari’at dan hakikat sehingga keduanya tidak
saling menggusur, akan tetapi justru saling mendukung.? Kebutuhan ini wajar, karena para sufi sendiri
mengembangkan ajaran mereka adalah untuk menyemarakkan kehidupan agama, dan
bukan untuk merusaknya. Namun bagaimana caranya, itu yang belum bisa di
kemukakan oleh para ulama’ sufi.
Imam al-Qusyairi (w, 1074M.) dalam risalahnya merumuskan harapan ; “Syari’at
itu perintah untuk melaksanakan ibadah, sedang hakikat menghayati kebesaran
Tuhan (dalam ibadah). Maka setiap syari’at yang tidak diperkuat dengan hakikat
tidak diterima; dan setiap hakikat yang tidak terkait dengan syari’at, pasti
tak menghasilkan apa-apa. Syari’at datang dengan kewajiban pada hamba, dan hakikat memberikan
ketentuan Tuhan. Syari’at memerintahkan mengibadahi pada Dia. Syari’at
melakuakan yang diperintahkan Dia, hakikat menyaksikan ketentuanNya, kadarNya,
baik yang tersembunyi ataupun yang tampak diluar”[48]
Walaupun cita-cita untuk menjalin keselarasan pengamalan tashwwuf dengan
syari’at telah di cetuskan dan menjadi keprihatinan ulama’-ulama’ sufi
sebelumnya, namun baru Imam Al-Ghazali yang secara konkrit berhasil merumuskan bangunan ajarannya. Konsep yang mengkompromikan dan menjalin secara ketat antara
pengalaman sufisme dengan syari’at dalam karya yang paling monumental Ihya’ Ulumu ad-Din.[49]
D. Pandangan Imam Al-Ghazali Tentang Ma’rifat.
Menurut Imam Al-Ghazali,
ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan
Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada
sir-qolb dan roh. Saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu
dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak
keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan
cahayanya kepada sang sufi hingga yang dilihatnya hanya Allah, di sini
sampailah ia ke tingkat ma’rifat.
Menurut Al-Ghazali proses mengenal Allah tidak dapat
hanya dengan menggunakan akal sebagaimana yang diyakini oleh para kaum
filsafat, bahwa pengenalan Allah dengan dhauq atau perantara intuitif (batini)
akan lebih dapat memberikan keyakinan dan ketenangan spiritual daripada hanya
sebatas bersandar dengan akal.[50] Untuk sampai pada mahabbah dan ma’rifat yang sempurna
kepada Tuhan tentunya seorang sufi terlebih dahulu harus melewati berbagi maqom
dan melewati batas fana’.
Fana’ merupakan satu istilah
yang menggambarkan seorang sufi yang telah melakukan proses takhalli dan
tahalli. Orang yang mencintai Tuhan akan berusaha bertakhalli (membersihkan
diri dan jiwa dari segala macam sifat yang dibenci Tuhan). Begitu juga
sebaliknya setelah seorang sufi melakukan tahkalli (pembersihan) maka ia akan
mengisi hidupnya dengan sifat-sifat yang dicintai oleh Tuhan atau bertahalli.[51]
Ma’rifat merupakan bagian dari finalitas maqomat seorang
sufi. Setelah seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari taubah, wira’i,
zuhud, faqru, sabar, tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada satu tsamroh
atau hasil dari perjalanan kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang dalam kitab
Ihya’ U’lum al-Din di namakan dengan mahabatullah.
Keterikatan antara
‘mahabbah’ dan makrifat dalam pemikiran sufisme amat erat seolah sepasang
kembar yang tak dapat dipisahkan baik subtansi maupun sifat-sifatnya. Dari makrifat lahir mahabbah, cinta. Tiada pengenalan
yang tidak melahirkan cinta. Ini berlaku dalam setiap taraf spritual.
Proses ma’rifat (pengenalan) seseorang kepada Tuhannya
untuk mencapai mahabbah berbeda-beda. Imam Al-Ghazali membagi kelompok
orang-orang yang sampai pada tingkat ma’rifat dan mahabbah kepada dua tingkatan
yaitu :[52]
-
Pertama,
tingkatan seseorang
yang kuat dalam ma’rifat. Dia adalah seseorang yang menjadikan Tuhan sebagai
awal ma’rifatnya dan kemudian dengan ma’rifat itu ia mengenal segala sesuatu
yang selain Tuhan.
-
Kedua, tingkatan seseorang yang lemah ma’rifatnya. Yaitu
seseorang yang bermula dengan mengenal ciptaan Tuhan kemudian dengan
ma’rifatnya ia mengenal Tuhan.
Finalitas dari sebuah
mahabbah dan ma’rifat yang sempurna adalah terbukanya hijab dan terjadinya
tajalli atau penampakan Tuhan pada makhluknya. Seorang yang telah sampai pada
maqom ini akan merasa hidupnya terpenuhi oleh cahaya Tuhan, bahkan terkadang
saat berada dalam kondisi sakran (mabuk) seseorang akan mengeluarkan
ucapan-ucapan teopatis atau dalam istilah tasawuf syatotoh.
Yang menarik dari konsep
ma’rifat Imam Al-Ghazali adalah penolakannya pada konsep-konsep tokoh sufi
sebelumnya, seperti ; Abu Yazid dengan konsep ittihad, al-Hallaj dengan konsep
hulul, ibn Arabi dengan konsep wahdah al-wujud. Menurut Imam Al-Ghazali paham tersebut
berkecenderungan ke arah ketuhanan yang bercorak panteistis-imanenis yang
menggambarkan Tuhan sebagai Dzat yang imanen dalam diri manusia, yang mana ia
melihat itu semua sebagai paham yang akan merusak konsep tauhid yang menjadi
ciri khas dogma teologi dalam Islam. Dalam bukunya, al-Munqidz, ia melihat
rumusan mengenai kedua konsepsi ini sebagai khayalan semata. Katanya, “…
sampailah ia ke derajat yang begitu dekat dengan-Nya sehingga ada orang yang
mengiranya sebagai hulul, ittihad atau wushul. Semua persepsi itu adalah salah
belaka. … barang siapa mengalaminya, hendaklah hanya mengatakan bahwa itu suatu
hal yang tak dapat diterangkan, indah, baik, utama, dan jangan lagi bertanya.”[53]
Dengan batasan ini bisa
dilihat, al-Ghazali mempertahankan keyakinan mengenai Tuhan sebagai Dzat yang
transenden. Artinya Tuhan adalah Dzat yang mengatasi dan berbeda dengan manusia
: Ada perbedaan mendasar antara Tuhan dan makhluk (manusia) secara jelas dalam
pandangan al-Ghazali. Akan tetapi penolakan Imam Al-Ghazali terhadap hulul dan ittihad di atas tidak otomatis merupakan penolakannya
pada pengalaman orang-orang yang telah mencapai maqom ma’rifat. Bagi
al-Ghazali, pengalaman itu benar adanya. Kaum `arifun, setelah pendakiannya ke
langit hakekat, sepakat bahwa mereka tak lagi melihat dalam wujud ini kecuali
Tuhan.
Ucapan al-Hallaj ana al-Haq,
dan ucapan-ucapan tokoh sufi lainnya yang dianggap aneh dan menyesatkan
sebenarnya hanyalah merupakan kata-kata teopatis atau syafahat. Ia merupakan
ucapan yang terlepas di bawah kontrol kesadaran seseorang saat berada dalam
keadaan mabuk (sakran) akan cinta Tuhan. Ucapan-ucapan itulah yang selanjutnya
disebut sebagai ajaran ittihad, hulul dan wihdatul wujud. Menurut dia, ilmu
sejati atau ma’rifat sebenarnya adalah mengenal Tuhan. Mengenal Hadrat
Rububiyah. Wujud Tuhan meliputi segala Wujud. Tidak ada yang wujud, melainkan
Tuhan dan perbuatan Tuhan. Tuhan dan perbuatannya adalah dua, bukan satu.
Itulah koreksi Imam Al-Ghazali atas pendirian al-Hallaj dan ulama sufi lainnya.
Wujudnya ialah kesatuan semesta (wihdatul wujud). Alam keseluruhan ini adalah
makhluk dan ayat (bukti) tentang kekuasaan dan kebesaran-Nya. Sedangkan
penglihatan akan Tuhan melalui alam dan makhlukNya adalah sebatas tajalli atau
penampakan akan keberadaan Tuhan bukan berarti Tuhan menyatu dengan alam
apalagi mengalami persatuan ke dalam tubuh manusia.
E. Pujian
Dan Kritikan Terhadap Thasawwuf Imam
Al-Ghazali
Pengaruh
pemikiran al-Ghazālī dalam dunia Islam amat mendalam dan luas sekali. Hasil
karyanya dibaca dan dikaji di Timur dan Barat serta oleh kalangan bangsa Arab
atau bukan Arab, bahkan
pengkaji-pengkaji bukan Islam turut meneliti hasil karyanya dan diterjemahkan
ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia.
Beberapa
pujian oleh para peminat atau pencinta jasa Imam Al-Ghazālī ;
-
Pernyataan
al-Yafi’i: “Kalau wujud nabi selepas Nabi Muhamad pasti orang itu ialah
al-Ghazālī.”
-
ImamNawawi pula pernah berkata:
“Hampir-hampir Kitab Ihyā mengambil tempat al-Qur’an.”
-
Kata al-Subky: “Tidak tahu ada orang
selepas al-Ghazāli yang sama sepertinya terutama dari segi kadar memiliki ilmu.
Pasti tidak ada orang yang akan datang sepertinya.” [54]
Banyak tokoh-tokoh yg terlibat dalam penyebaran dan
perkembanga agama Islam di seluruh dunia, termasuk tokoh-tokoh pada zaman
Rasulullah. Antara nama-nama besar yang memberi sumbangan kepada dunia Islam ialah Imam
As-Syafi’e, Imam Malik, termasuk Imam
Al-Ghazali dengan karya beliau yg paling terkenal dan jadi rujukan di seluruh dunia yaitu
Ihya Ulum Al-Din. Imam Al-Ghazali banyak memberi sumbangan pada dunia Islam sehingga digelar
Hujjatul Islam (pembela
Islam) [55]
Imam
Al-Ghazali adalah nama yang tidak asing lagi di telinga kaum muslimin. Beliau
merupakan seorang teologi Islam, ahli hukum, ahli falsafah dan sufi termasyur, juga merupakan salah seorang
sarjana yang paling terkenal dalam sejarah pemikir Islam Sunni. Ia memiliki pengaruh dan pemikiran
yang tersebar ke seluruh dunia Islam melalui karya-karyanya meliputi ilmu
pengetahuan seperti ilmu kalam (teologi
Islam), fikah (hukum
Islam), tasawauf, falsafah, akhlak dan autobiografi. Dia dipandang paling berjasa dalam
mendamaikan tasawuf dan syariat sehingga tasawuf dapat diterima oleh sebahagian
besar umat Islam. Beliau juga berjasa mengembangkan dan menyebarkan aliran
Asy’ariyah yg dianuti oleh majority Ahli Sunnah Wal Jamaah.[56]
Di
kalangan ahli-ahli falsafah, pengkritik al-Ghazālī yang termasyhur ialah Ibnū Rusyd, ia menolak
perbahasan-perbahasan al-Ghazālī terhadap
ahli-ahli
falsafah. Contoh kritikan dalam penulisannya
ialah Tahāfut al-Tahāfut bagi
menjawab tulisan al-Ghazālī dalam kitab Tahāfut al-Falāsifah.[57]
Ibnū Rusyd mempertahankan
ahli-ahli falsafah dengan hujah yang keras sebagaimana serangan al-Ghazālī terhadap
mereka. Ibnū Rusyd berhujah dengan penuh
kefahaman
dan kehandalan tetapi dalam analisis
terakhir ternyata hujah-hujah al-Ghazālī
lebih berkesan daripada penentangnya. Sanggahan Ibnū Rusyd menyatakan bahawa al-Ghazālī
menentang ahli falsafah semata-mata untuk
mendapat
penghargaan daripada golongan tradisional tidak dapat dibuktikan. Beliau juga menuduh al-Ghazālī
tidak tetap dalam pemikirannya.
Contoh, beliau menyebut
bahawa dalam kitab Misykātul al-Anwār, al-Ghazālī memberi sokongan kepada teori emanasi yang
sudah dikritik dalam Tahafut. Menurut
beliau
lagi, ajaran-ajaran al-Ghazālī mendatangkan bahaya kepada agama dan falsafah. Ibnū Rusyd menyatakan
mengenai pemikiran al-Ghazālī :
“Satu hari kamu
berbangsaYaman apabila bertemu dengan orang Yaman. Tetapi apabila kamu bertemu seseorang dari Ma’ad , kamu mendakwa kamu dari ‘Adnan!”
Tuduhan
tidak konsisten terhadap al-Ghazālī juga dibuat oleh ahli falsafah Islam lain seperti Ibnū
Tufail menyebut dalam karyanya bahawa al-
Ghazālī:
“terikat di satu tempat tetapi bebas di tempat lain. Ia menafikan beberapa perkara tetapi kemudian
mengisytiharkannya benar.” Sungguhpun beliau
menunjukkan
beberapa kontradiksi dalam karya al-Ghazālī tetapi keseluruhannya Ibnū Tufail mengagumi ajaran
al-Ghazālī yang dapat dikesan dalam karya
Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn.
Ibnū
Taymiyah berpendapat bahawa Ihyā’
‘Ulūm al-Dīn karangan al-Ghazālī
secara
amnya adalah sebuah kitab yang ditulis dengan baik dan menggunakan gaya yang menarik. Pada masa yang
sama, Ibnū Taymīyah memberi kritikan
kerana
empat sebab:[58]
-
Pertama, pemikiran
al-Ghazālī jelas menunjukkan peninggalan
falsafah Yunani. Dalam menjelaskan ketauhidan Allah, kenabian dan hari akhirat, beliau memperkenalkan
banyak konsep yang dipegang oleh
ahli-ahli
falsafah pada masa
itu. DalamMuwāfaqāt,
beliaumenyatakan komentar Abū
Bakar bin al-‘Arabī iaitu sahabat dan pelajarnya bahawa al-Ghazālī telah mendalami ilmu falsafah dan mahu
menolak pemikiran itu tetapi sukar. Oleh
sebab
itu, Ibnū Taymīyah menentang falsafah. Beliau mendapati setengah penulisan al-Ghazālī tidak dapat
diterima daripada sudut keagamaan.
-
Kedua, dalampenulisan Ihyā ‘Ulūm al-Dīn al-Ghazālīmenggunakan
analisis logik yang dibuat
berdasarkan premis umum dan khusus dengan tujuan mendapatkan kesimpulan kerana ini tidak
bertepatan dengan semangat al-Qur’an dan Sunnah.
-
Ketiga, kitab Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīnmempunyai banyak
konsep dan ajaran ahliahli turūq suffīyah dan
pertanyaan-pertanyaan mereka mengenai pendapat kasyāf ke dalam kebenaran
ilahi.
-
Keempat, Kitab Ihyā’
‘Ulūm al-Dīn mengandungi
banyak hadist
yang diragui kesahihannya.
Ibnū
Jawzī juga telah menunjukkan kesilapan-kesilapan mengenai beberapa peristiwa sejarah yang disebut oleh
al-Ghazālī dalam Ihyā’.
Ibnū
Jawzi mengatakan bahwa al-Ghazālī telah
menyebut beberapa contoh ahli sufi atau
cara-cara
mereka untuk muraqabah dan pembersihan jiwa (tazkīyah al-nafs) yang tidak dibolehkan dalam syariat, apalagi untuk diikuti orang awam. Walau bagaimanapun Ibn Jawzi
mengakui keberkesanan Ihyā’ dan sumbangannya
amat berharga kepada pemikiran Islam selepas itu. Beliau juga telah meringkaskan Ihyā’ ‘Ulūm
al-Dīn di dalam kitab Minhāaj al-Qāsididīndan meninggal bahagian-bahagian yang
boleh diperbahaskan.
F.
Nasehat Tasawuf Imam Al-Ghazali
Penulis merasa penting untuk memasukan nasehat Imam Al-Ghazali kepada
muridnya ini dengan tujuan semakin memperjelas pemahaman atas kerangka
pemikirannya mengenai tashawwuf, yakni berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah
Rasullulah.
Bahwa suatu hari, Imam
al-Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam beliau bertanya bebeapa
hal.[59]
Pertama, “Apa yang paling dekat dengan
diri kita di dunia ini?. ”
Murid-muridnya ada yang menjawab orang
tua, guru, teman, dan kerabatnya. Imam al-Ghazali menjelaskan semua jawaban itu
benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah “Mati”. Sebab itu sudah
janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (QS. Ali Imran 185)
Lalu Imam al-Ghazali meneruskan pertanyaan
yang kedua. “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?”.
Murid-muridnya ada yang menjawab negara
Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam al-Ghazali menjelaskan
bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar,
ujarnya, adalah “MASA LALU.”
Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita,
tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga
hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan
ajaran Agama.
Lalu Imam al-Ghazali meneruskan dengan
pertanyaan yang ketiga. “Apa yang paling besar di dunia ini?”.
Murid-muridnya ada yang menjawab gunung,
bumi, dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling
besar dari yang ada di dunia ini adalah “Nafsu” (QS. Al- a’araf: 179). Maka
kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke
neraka.
Pertanyaan keempat adalah, “Apa yang
paling berat di dunia ini?”.
Ada yang menjawab baja, besi, dan gajah.
Semua jawaban sampean benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah
“memegang AMANAH” (QS. Al Ahzab 72). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan
malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah
(pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi
permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia
tidak bisa memegang amanahnya.
Pertanyaan yang kelima adalah, “Apa yang
paling ringan di dunia ini ?”.
Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan
daun-daunan. Semua itu benar kata Imam al-Ghazali. Namun menurut beliau yang
paling ringan di dunia ini adalah ‘meninggalkan SHALAT’. Gara-gara pekerjaan
kita tinggalkan shalat, gara-gara meeting kita juga tinggalkan shalat.
Lantas pertanyaan keenam adalah, “Apakah
yang paling tajam di dunia ini?”.
Murid-muridnya menjawab dengan serentak,
pedang. Benar kata Imam al-Ghazali. Tapi yang paling tajam adalah “lidah
MANUSIA”. Karena melalui lidah, manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan
melukai perasaan saudaranya sendiri.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tashawwuf
adalah
ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang jalan atau cara yang ditempuh dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jalan atau cara yang dimaksud dengan melalui
pembersihan rohani, peningkatan amal saleh, berakhlak mulia dan tekun
melakukan ibadah menurut contoh Rasulullah
SAW disertai dengan melakukan zuhud, berkhalwat dan kontemplasi (merenung dan berpikir dng sepenuh
perhatian). Dari segi bahasa Tashawwuf adalah sikap
mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela
berkorban untuk kebahagiaan dan selalu bersikap bijaksana, sikap jiwa yang
demikian pada hakikatnya adalah ahlak mulia.
Imam Al-Ghazali menjadikan Al-Qur’an
dan Sunnah Rasullulah sebagai pegangan utama dan atau titik tolak manusia dalam
menjalani hidup, baik untuk kepentingan lahiriah maupun bathiniah, semata untuk
mendapat keridhaan Allah, untuk mencapainy itu semua manusia perlu memiliki
ilmu, baik ilmu syariat maupun ilmu tashawwuf, keduanya tidak bisa dipisahkan,
orang hanya akan berhasil mencapai tingkat ma’rifatullah (mengenal Allah)
setelah menjalani syariat secara benar, dan mengenal Allah bukan berarti
menyatu dengan Allah, sebab tidak mungkin itu terjadi. Bahwa pencapaian ketingkat
ma’rifat bukanlah suatu hal yang dapat dipelajari dengan akal semata seperti
pendapat para ahli filsafat terdahulu, bahwa keberhasilan dalam pencapaian
ma’rifat akan tercermin pada ahklak manusia.
B. Saran-Saran
Tashawwuf adalah sarana untuk mendukung pendalaman rasa agama (spiritualitas) dan memantapkan dan menghidupkan iman. Dengan ilmu kalam
orang baru bisa mengerti tentang pokok-pokok keimanan, namun tidak bisa menanamkan keyakinan yang mantap dan
menghidupkan pengalaman agama, oleh karena itu adalah penting untuk mempelajari ,
memahami dan mengamalkan tasawwuf, sebab ibadah akan tidak ada artinya kalau
kita tidak mengenal untuk siapa dan atau kepada siapa kita beribadah.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Arifin, Shohibulwafa, K.H.A. 1975.
“Miftahus Shudur”. Diterjemahkan oleh Prof. K.H. Aboebakar Atjeh menjadi “Kunci
Pembuka Dada”. Jilid 1 dan 2. Tasikmalaya, Jawa barat: Yayasan Serba Bakhti
Suryalaya.
2.
Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an Departemen Agama RI. (1974). “Al-Qur’an dan
Terjemahnya” , Jakarta: Depag RI.
3.
Ihya’ U’lum al-Din, Imam Abu Hamid
AlGozali.
4.
Intelektualisme Tasawuf; Studi
Intelektualisme Tasawuf AlGozali, Prof Dr Amin Syukur, MA dan
Drs Masyharuddin, MA.
5.
Al-Hayat al-Ruhiyah fi al-Islam, Dr. Muhammad
Musthafa Hilmi.
6.
Inti Tasawuf, Dr. Muhammad Nurshomad
7.
ceh,
Abu Bakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo, Ramadhani,1984.
8.
Sufi dari Zaman ke Zaman, terj.Ahmad Rofi Utsman, Bandung,
Pustaka, 1997.
9.
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam,
Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993
10. Hasan, Abd-Hakim, al-Tasawuf fi Syi’r al-Arabi,Mesir,al-Anjalu
al-Misriyyah,1954
11. Munawir,Ahmad warson, al-Munawwir : Kamus Arab – Indonesia,
PP. al-Munawwir,Yogyakarta, 1984
12. Nasution, Harun, Prof. Dr., Falsafat dan Mistisme dalam Islam,
Jakarta, Bulan Bintang,1995
13. Syukur, Amin,Prof. Dr., Menggugat Tasawuf,Yogyakarta,Pustaka
Pelajar, 2002
---mmm---
[1]Pengertian Ma’rifatullah,
http://titianilahi.wordpress.com/2009/10/19/pengertian-marifatullah/
[2] SUMBER; KM. Murdani, S.Th.I & Ismail SEJARAH PERKEMBANGAN
TASAWWUF, 3 Januari 2010, hkhusus.wordpress.com/2010/01/03/sejarah-perkembangan-tasawwuf/
[3] Ibid.
[5] SUMBER; KM. Murdani, S.Th.I & Ismail SEJARAH PERKEMBANGAN
TASAWWUF, 3 Januari 2010, hkhusus.wordpress.com/2010/01/03/sejarah-perkembangan-tasawwuf/
http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/jalan-menuju-allah-konsep-tasawuf/
http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/jalan-menuju-allah-konsep-tasawuf/
http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/jalan-menuju-allah-konsep-tasawuf/
http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/jalan-menuju-allah-konsep-tasawuf/
[19]
Tasawuf adalah Ajaran Rasulullah SAW
dan Para Sahabat, Posted on Maret 16, 2012 by SufiMuda,http://sufimuda.net/2012/03/16/tasawuf-adalah-ajaran-rasulullah-saw-dan-para-sahabat/
[20]
Sumber ; KHALIFAH ABUBAKAR
ASSIDDIQ, oleh Ustaz Syed Hasan Alatas,
http://www.shiar-islam.com/doc64.htm
[23] Abd. Hakim
Hasan, al-Tasawuf Fi Syi’r al-Arabi,
(Mesir : al-Anjalu al-Misriyyah), 1954, hlm. 42. Lihat juga Prof. D. Amin Syuku
MA, Zuhud…, op.cit, hlm. 2
[25] Dr. Abu al-Wafa
al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman
ke Zaman, (Bandung : Pustaka), 1977, hlm. 54
[29] hlm. 58-59;
lihat juga Prof.Dr. Amin Syukur MA,Zuhud…,op.cit.,hlm.
4-5; Bandingkan dengan Reynold A. Nicholson, Mistik Dalam Islam, (Jakarta : Bumi Aksara),1998,hlm. 8-21
[30]
Dewan
Redaksi EndiklopediIslam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta.PT.Ichtiar Baru Van Joeve),
1993, hlm.80- 81
[36] al-Munqidh min ad-dalal, p. 13.http://barrynuqoba.wordpress.com/2007/05/17/pengakuan-ulama-besar-fiqh-tentang-tasawwuf-dan-ulama-sufi/
[38] Sumber : Tasawuf antara
Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Dr. Abdul Fattah Sayyid Ahmad. Khalifah Jakarta.
[39] Ta Tasawuf antara Agama dan
Filsafat. Dr. Ibrahim Hilal. Pustaka Hidayah Bandung. Cet. I. hal. 89. Th.
2002sawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Hal 234
[40] Tasawuf antara Agama dan Filsafat. Dr. Ibrahim Hilal. Pustaka Hidayah
Bandung. Cet. I. hal. 89. Th. 2002
[41] Pengantar Ilmu Tasawuf. Drs.
Yunasril Ali. Pedoman Ilmu Jaya. Jakarta. Cet. I. hal. 29. Th 1987 M
[42]Pengantar Ilmu Tasawuf. Drs.
Yunasril Ali. Pedoman Ilmu Jaya. Jakarta. Cet. I. hal. 29. Th 1987 M
[46]Pengantar Ilmu Tasawuf. Drs.
Yunasril Ali. Pedoman Ilmu Jaya. Jakarta. Cet. I. hal. 29. Th 1987 M,hal. 36.
[49]Pengantar Ilmu Tasawuf. Drs.
Yunasril Ali. Pedoman Ilmu Jaya. Jakarta. Cet. I. hal. 29. Th 1987 M,hal. 162.
[55] Abd Aziz bin Harji, Kelahiran Imam Al-Ghazali
dan Sumbangannya kepada Tamadun Islam, abstrak, http://az-esei- jan2010.blogspot.com/2010/04/kelahiran-imam-al-ghazali-dan.html, Thursday,
April 22, 2010
[57] Pujian dan
Kritikan Terhadap ImamAl-Ghazali,ABDUL SALAM HJ.
YUSSOF ABSTRACThttp://www.ukm.my/jmalim/images/vol_06_2005/abdul_salam_2005.pdf
[58] Pujian dan Kritikan Terhadap ImamAl-GhazaliABDUL
SALAM HJ. YUSSOF, ABSTRA, Thttp://www.ukm.my/jmalim/images/vol_06_2005/abdul_salam_2005.pdf
[59]Sumber ; Nasehat
Tasawuf Imam al-Ghozali; Enam Pertanyaan Imam al-Ghazali Posted on 23/02/2012 by Si pencari ilmu, ipencariilmu.wordpress.com/2012/02/23/nasehat-tasawuf-imam-al-ghozali-enam-pertanyaan-imam-al-ghazali/
Amalan Pelaris Mencari Barang Hilang Menarik Pencuri Dll[ BANYAK DI BACA ]
BalasHapusAmalan Surat An-Najm Ayat 58[ BANYAK DI BACA ]
Amalan Untuk Menarik dan Melancarkan Rizqi - [ BANYAK DI BACA ]
Cara Mendapatkan Informasi Ghaib[ BANYAK DI BACA ]
Cara Mengobati Gangguan Jin - [ BANYAK DI BACA ]
Cara Merubah Batu Jadi Emas Intan Dan Permata[ BANYAK DI BACA ]
Do'a Dzikir Rajah Kodam Wassyamsi Waduhaha[ BANYAK DI BACA ]
Doa Dzikir Asma Jabarut [ BANYAK DI BACA ]
ILMU CARA MENUNDUKAN JIN - [ BANYAK DI BACA ]
Ilmu Ampuh Mendatangkan Hajat[ BANYAK DI BACA ]
Ilmu Cara Tawasul Pendek [ BANYAK DI BACA ]
Ilmu Memanggil / Menarik Orang Kembali [PUTER GILING] - [ BANYAK DI BACA ]
Ilmu Merubah Kertas / Daun Jadi Uang[ BANYAK DI BACA ]
Ilmu Merubah Kertas Jadi Uang[ BANYAK DI BACA ]
Khodam Malaikat Dari Do'a Basymakh Isa A.S
Kumpulan Do'a,Dzikir,Wirid Dll