Selasa, 15 April 2014

MAKALAH MENGENAL TASAWUF IMAM GHAZALI

 BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Tashawwuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan (biasanya dilakukan dengan mengasingkan diri) guna membebaskan diri dari pengaruh kehidupan dunia, dengan tujuan untuk  mendekatkan diri dan memperoleh suatu hubungan khusus yang langsung dengan Allah, tercermin ahklak yang mulia dan dekat dengan Allah Swt.

Ahli tashawwuf disebut Sufi, yang selalu berusaha mensucikan jiwanya demi mendekatkan diri kepada Allah. sebagai Tuhannya, dan untuk itu diperlukan pendidikan dan latihan mental yang panjang dan bertingkat, dari tahap satu ketahap lain yang lebih tinggi ; tobat, zuhud, sabar, kefakiran kerendahan hati, ketaqwaan, tawakkal, kerelaan, cinta, sampai  kepada tercapainya kesempurnaan (ma'rifatullah).

Menurut Ibn Al Qayyim, Ma’rifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifah (orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya”.
Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’riaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah.
[1] 

Sebagai  ilmu pengetahuan, Tashawwuf adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan  yang mempelajari ajaran agama Islam yang khusus berkaitan dengan aspek-aspek moral serta tingkah laku untuk mencapai atau menuju kepada  keadaan yang lebih baik dan lebih sempurna sesuai dengan substansi ajaran Islam, yang menekankan dimensi atau aspek spiritual kehidupan  manusia, atau lebih kepada aspek rohani ketimbang aspek jasmani dan atau kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia yang fana.  Oleh karena itu ilmu Tashawwuf sangat penting untuk dipelajari dan dipahami terutama bagi masyarakat pemeluk agama Islam umumnya dan para pemuka agama Islam khususnya,mengingat dewasa ini masyarakat  mengalami banyak masalah dalam kehidupan duniawi dan atau spritual keagamaan, sehingga mempelajari dan memahami  Tashawwuf diharapkan akan menjadi suatu cara yang manjur untuk menemukan solusi dari berbagai masalah tersebut.

Berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadist sahih sebagai dokrin ajaran Islam yang berlaku mutlak, nilai-nilai Tashawwuf  (nilai-nilai sufi ) sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW, tasawuf nyata terlihat dari tingkah laku dan perbuatan nabi yang mencerminkan ahklak yang sangat tinggi dan mulya, hal mana sangat erat relevansinya dengan keberadaan nabi dalam kapasitasnya sebagai utusan Allah, yakni untuk memperbaiki dan sekaligus menyempurnakan akhlak manusia.

Salah satu tokoh tashawwuf yang sangat terkenal adalah   Imam Al-Ghazali, seorang ahli sains sekaligus sebagai tokoh sufi terkemuka, sehingga digelari sebagai hujjat ul-Islam.

Dalam perjalanan hidupnya ia merupakan seorang pengembara ilmu, terbukti dengan karya-karyanya yang kaya akan berbagai cabang keilmuan. Sebagai tokoh sufi ia dikenal sebagai seorang ulama usul fiqh dengan karyanya al-mustashfa, dan ia juga dikenal sebagai tokoh filsafat dengan karyanya Tahafut al-Falasifah yang mengkritik konsep berfikir para filosof saat itu. Ia menganggap ajaran pemikiran filsafat para filosof telah melewati batas, hal mana menimbulkan kehawatiran yang mendalam dalam dirinya akan rusaknya akidah kaum filsafat, oleh karena itu beliau berinisiatif untuk meluruskan pemikiran filsafat dengan menggagas kaedah-kaedah tasawuf sebagai jembatan guna mendamaikan syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami clash pada zaman itu, yang berhasil diwujudkannya melalui  karya terbesarnya, ”Ihya’ U’lum al-Din(The Revival of Religion Sciences).  

Makalah ini akan memaparkan kerangka dasar pemikiran Tashawwuf Imam Al-Ghazali  dengan bertolak dari pengertian Tashawwuf menurut para ahli ilmu agama Islam, sejarahnya,  latar belakang kehidupan pribadi Imam Al-Ghazli dan buah pemikirannya serta pendapat dunia Islam dan pemikir Islam tentang beliau, baik yang pro maupun yang kontra.  

B.     Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
” Bagaimana Konsep Ajaran Tasawuf Imam Al-Ghazali mampu menggagas Kaedah-kaedah Tashawwuf sehingga dianggap sebagai jembatan yang telah berhasil mendamaikan Syari’at dengan Tasawuf  ?”

C.    Tujuan Dan Kegunaan Penulisan
1.      Tujuan Penulisan.
Penulisan makalah ini ditujukan untuk mengetahui :
a.      Mengetahui tentang ilmu pengetahuan Tashawwuf umumnya dan kerangka dasar pemikiran Tashawwuf  Imam Al-Ghazali khususnya dalam menafsirkan Ajaran Islam bagi kemaslahatan pemeluknya dunia dan akherat.   
b.      Sebagai langkah awal bagi penulis untuk penyusunan Thesis nantinya dalam menyelesaikan study di Pasca Sarjana Magister Hukum.
1.      Kegunaan Penulisan
a.       Kegunaan Praktis ; Penulis berharap keseluruhan data dan informasi yang disajikan dalam dalam makalah ini dapat  memberikan masukan bagi para penyelenggara Negara dalam pembentukan dan pembangunan  hukum Islam kotenporer Indonesia.
b.      Kegunaan Teoritis ; Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengambilan kebijakan, peningkatan dan pengembangan serta pembaharuan hukum Islam, sehingga dapat diimplementasikan dalam penanganan masalah Hukum Nasional terhadap masyarakat Islam yang sesuai dengan ajaran Islam. 

D.    Metode Penulisan.

Penulisan makalah ini bersifat studi kepustakaan (library research), di mana data yang diperoleh berdasarkan pustaka melalui Al-Quran dan Hadist, buku-buku, peraturan perundang-undangan, dan laporan, makalah dan atau artikel-artikel yang berhubungan dengan filsafat hukum dan perannya dalam pembentukan hukum Indonesia kontenporer yang didapat melalui internet.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TASAWUF

A.    Pengertian Tashawwuf

Adakah istilah tasawuf pada zaman Rasulullah Saw ?
Tentu jawabannya tidak ada. Sebab penamaan cabang-cabang ilmu syariat belum ada di zaman Rasulullah, tetapi praktek cabang ilmu tersebut sudah ada sejak zamannya. Misalnya ilmu tafsir, penamaannya baru populer setelah abad ke-2 H yang dipelopori oleh para penulis perdana dalam cabang ilmu ini seperti, Syubah bin Hajjaj, Sufyan bin Uyainah dan Waki bin Jarah, pada hal praktek penafsiran sudah ada sejak zaman Rasulullah. Begitu juga ilmu tasawuf dan cabang ilmu syariat yang lain.[2]

Tashawwuf adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kamu hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa, sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa menjadi baik ?[3]

Apa kata Ibn Taymiah tentang istilah Tasawwuf ?[4]
Alhamdulillah, penggunaan kata tasawuf telah didiskusikan secara mendalam. Ini adalah istilah yang diberikan kepada hal yang berhubungan dengan cabang ilmu (tazkiyat an-nafs and Ihsan). “Tasawwuf adalah ilmu tentang kenyataan dan keadaan dari pengalaman. Sufi adalah orang yang menyucikan dirinya dari segala sesuatu yang menjauhkan dari mengingat Allah dan orang yang mengisi dirinya dengan ilmu hati dan ilmu pikiran di mana harga emas dan batu adalah sama saja baginya. Tasawwuf menjaga makna-makna yang tinggi dan meninggalkan mencari ketenaran dan egoisme untuk meraih keadaan yang penuh dengan kebenaran. Dia melanjutkan mengenai Sufi,”mereka berusaha untuk menaati Allah, sehingga dari mereka kamu akan mendapati mereka merupakan yang terdepan (sabiqunas-sabiqun) karena usaha mereka. Dan sebagian dari merupakan golongan kanan (ashabus-syimal).”

Ibn Al-Khaldun dalam Mukadimah-nya menulis, Ilmu ini (yakni tasawuf) salah satu ilmu syariat baru di dalam agama Islam. Sebenarnya, metode kaum ini (kaum sufi) telah ada sejak masa para sahabat, tabiin dan ulama-ulama penerusnya, sebagai jalan kebenaran dan petunjuk, karena inti tasawuf adalah tekun beribadah, memutuskan hubungan dari selain Allah, menjauhi kemewahan dan kegemerlapan duniawi, meninggalkan kelezatan harta dan tahta yang sering dikejar kebanyakan manusia dan mengasingkan diri dari manusia untuk beribadah. Praktek ini populer di kalangan para sahabat dan ulama terdahulu. Ketika tren mengejar dunia menyebar di abad kedua dan setelahnya, manusia mulai tenggelam dalam kenikmatan duniawi, orang-orang yang menghususkan diri mereka kepada ibadah disebut sufi.[5]

Shaikh Rashad Rida berkata, ”tasawwuf adalah salah satu pilar dari pilar-pilar agama. Tujuannya adalah untuk membersihkan diri dan mempertanggungjawabkan perilaku sehari-hari dan untuk menaikan manusia menuju maqam spiritual yang tinggi”. [6]

DR. YUSUF AL-QARDHAWI (Ketua Ulama Islam Internasional dan juga guru besar Universitas al Azhar – Beliau merupakan salah seorang ulama Islam terkemuka abad ini) mengatakan : “Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke arah bagian ruhaniah, ubudiyyah, dan perhatiannya tercurah seputar permasalahan itu. Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan As-Sunnah, bersih dari berbagai pikiran dan praktek yang menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya. Banyak orang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak orang yang durhaka dan lalim kembali bertobat karena jasa mereka, dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam, berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama di bidang marifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam ruhani, semua itu tidak dapat diingkari.”[7]

Menurut Harun Nasution secara etimologis, Tashawwuf, memiliki banyak arti : [8]
1.      Safa, artinya suci dan sufi adalah orang yang disucikan, dan memang, kaum sufi berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa.
2.      Saf (baris), yang dimaksud saf ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
3.      Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.
4.      Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.
5.      Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.
Selanjutnya Harun Nasution menjelaskan, Tashawwuf itu merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, tashawwuf atau sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam bisa sedekat mungkin dengan tuhan”.

Dari berbagai definisi yang berbeda-beda tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan tentang inti sari dan atau kata kunci dan atau esensi dan atau hakekat yang sebenarnya dari Tashawwuf   itu adalah ; mendekatkan diri kepada Allah SWT.
B.     Mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Maka apabila kita rujuk dengan Al-Qur’an, keinginan manusia atau kaum sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.  Bukanlah hal yang berlebihan atau mustahil, karena sebenarnya Allah sendiri telah mengatakan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, bahwa manusia dekat sekali pada Tuhan, diantaranya, Surat al-Baqarah ayat 186 :

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا

بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Dan perintah Allah dimaksud dalam Al- Qur’an Surat Adz-Dzaariyaat ayat 56 :  “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku, dan Surat Al-Baqarah ayat 21;
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa”.
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 30:“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman pada para malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’…”

Beribadah berarti melaksanakan segala sesuatu (yang baik) dengan semata mengharap ridla Allah. Bertaqwa artinya menjalankan segala yang diperintahkan olehNya dan meninggalkan segala yang dilarang olehNya.

Selain itu, manusia diberi kepercayaan oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi. Tugas kekhalifahan (Kepemimpinan) itu dimulai dengan memimpin diri (hawa nafsu)nya sendiri, keluarga, dan kemudian berkembang ke memimpin lingkungan yang lebih luas. Namun kepercayaan Allah terhadap manusia untuk menjadi khalifah dimuka bumi  awalnya diprotes oleh malaikat dan iblis, dengan alasan yang berbeda. Malaikat protes karena melihat manusia suka saling berbunuhan; sedangkan, iblis protes karena merasa dirinya yang dibuat dari api itu lebih tinggi derajatnya dari pada manusia yang dibuat dari tanah. Setelah Allah menjelaskan, malaikat mengikuti perintah Allah dan mengakui kekhalifahan manusia, tetapi iblis tetap membangkang, meskipun diancam dengan Neraka Jahannam, malahan minta ‘privilege’ kepada Allah SWT untuk dapat hidup terus hingga Hari Qiamat dan diberi ijin untuk membujuk manusia mengikuti jalan sesatnya. Allah mengijinkan permintaan ini, sebagaimana dialog antara Allah dengan malaikat dan iblis dalam Al-Qur’an (Q.S. Al-Baqarah: 30, Surat Al- Israa’ ayat:62-65, Surat An-Nisaa’ayat 118-119, Surat Al-A’raaf ayat 16-17,).

Sasaran Strategis Syaithan adalah Hati (Qalb), karena hati merupakan inti dari manusia. Hatilah, dan bukan akal, yang menggerakkan seluruh anggota badan. Hati pulalah yang menghubungkan manusia dengan Khaliknya, Allah SWT. Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Az-Zumar 17-18:[9] “Bahwa Allah itu tidak melihat kepada rupamu, akan tetapi melihat kepada bathinmu.” Rasulullah SAW bersabda: “Bahwa dalam badan anak Adam itu ada segumpal darah. Apabila segumpal darah itu baik, baiklah seluruh badan anak Adam itu. Apabila gumpalan darah itu rusak, rusaklah seluruh badan anak Adam itu. Perhatikanlah, bahwa yang dimaksud itu adalah hati.”
Peranan hati itu demikian penting karena didalamnya Allah Ta’ala menaruh Nur yang bersifat Al-Latifah (Kelembutan), Ar- Rabbaniyah (Ketuhanan), dan Ar-Rohaniyah (Kerohanian). Dengan Nur itulah manusia dapat memperoleh ma’rifat. Apabila manusia menyelam ke dalam dirinya dan terus menerus kembali kepada hatinya, terpancarlah baginya mata air ilmu yang disebut “Ilmu Laduniah”. [10]

Al-Bazari berkata: “Dalam hati itu terdapat sifat ‘Al- Latifah’, ‘Ar-Rabbaniyah’, dan ‘Ar-Rohaniyah’ yang bersangkutan dengan tubuh manusia. Itulah hakikat insan dan itulah yang dapat mencapai arif, tempat Nur yang ditaruh Tuhan padanya.” [11]

Sedangkan Abdul Qadir Al-Jaelani berucap: “Hati itu tempat ilmu hakikat karena ‘latifatur Rabbaniyyah’ yang mengatur bagi sekalian anggota badan. Hati itu alat penembus hakikat, bahwa penyebab yang membutakan hati itu adalah diantaranya jahil atau tidak sefaham tentang hakikat perintah Tuhan. Manusia menjadi jahil apabila jiwanya sudah dikuasai oleh sifat jiwa zalim, yang ditanamkan oleh syaithan lewat hawa nafsu manusia, seperti: syirik, zinna, takabur, irihati, dengki, kikir, melihat diri lebih utama, suka membuka rahasia orang lain, suka membawa berita adu domba, bohong, dusta, dan semacamnya yang dapat menjatuhkan manusia ke dalam lembah kehancuran dan kehinaan.…”[12]

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Jikalau tidak bahwa syaithan-syaithan itu menutupi hati anak Adam, sungguh orang-orang yang mu’min itu melihat kepada langit malakut dan buminya.” Syaithan menutup hati manusia itu dengan mengembangkan ‘nafsul-ammarah bissu’ (nafsu yang membawa kejahatan) yang memang sudah ada pada diri manusia. Hawa- nafsu itu mendorong pada tindak kejahatan dan pemenuhan kesenangan pribadi dan syahwat nalurinya. [13]

Para guru Tasawwuf mengatakan bahwa syaithan sadar sesadar-sadarnya akan pentingnya peranan hati ini dalam diri manusia, syaithanpun menyerang manusia dari sasaran strategis ini, ia memasuki hati dalam badan manusia melalui sembilan lubang ya’ni kedua mata, kedua lubang telinga, kedua lubang hidung, lubang mulut, dan kedua lubang kemaluan, agar hati manusia menjadi buta, sehigga tidak dapat menerima Nur Illahi.

Buta hati adalah sesungguh-sungguhnya buta manusia. Demikian Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Haj ayat 46 : “…Karena sesungguhnya yang disebut buta itu bukanlah buta matanya, melainkan buta hatinya yang letaknya di dalam dada.”

Sifat jiwa yang zalim yang menyebabkan butanya hati tersebut adalah suatu penyakit, apabila tidak segera diobati akan berakselerasi atau beranak-pinak, sebagaimana ditandaskan Allah SWT. dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 9: “Dalam hati orang-orang kafir itu ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit itu, dan bagi mereka siksa yang pedih, karena mereka berdusta” dan ;

At-Taubah ayat 125: “Dan adapun bagi orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit, maka bertambah kotorlah di atas kotorannya serta mereka meninggal dunia dalam keadaan kafir.”

Demikian berbahayanya penyakit hati yang dihembuskan syaithan lewat hawa nafsu manusia ini sehingga Rasulullah SAW menyatakan jihad akbar melawan hawa nafsu ini. Hal ini dapat dilihat dari sabda-sabda beliau seperti: “Jihad yang paling utama adalah jihad seseorang untuk dirinya dan hawa nafsunya” (Bukhari dan Muslim), “Musuhmu yang paling berbahaya adalah nafsumu yang terletak diantara lambungmu”, dan “Kami kembali dari jihad kecil ke jihad besar, yaitu jihad melawan hawa nafsu” (yang diucapkan sekembalinya dari Perang Badr yang akbar itu). Berjuang melawan musuh yang dzahir ada kesudahannya tetapi berjuang melawan syaithan dan hawa nafsu tidak ada habis-habisnya dan tidak berkesudahan hingga akhir hayat atau hari qiamat.

Membersihkan hati dan menolak kehendak hawa nafsu yang keji itu fardlu ‘ain hukumnya. Akan tetapi, membersihkan hati itu sangat sukar karena penyakit hati (illat-illat) itu tidak terlihat oleh mata tetapi dapat ditangkap dengan hati. Untuk menandingi illat-illat tersebut harus ada Nur yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera tetapi tertangkap oleh hati. Dengan Nur tersebut keluarlah manusia dari gelap gulita ke terang benderang dengan izin Tuhannya.

Cara kaum Sufi membuang penyakit hati tersebut adalah dengan riyadhah dan latihan-latihan yang antara lain meliputi bertaubat, membersihkan Tauhid, taqarrub kepada Allah, mengikuti Sunnah Nabi, memperbanyak ibadah, qiyamul lail, tidak memakan/meminum makanan/minuman yang haram, tidak menghadiri tempat yang menambah nyala api hawa nafsu, tidak melihat pemandangan yang haram, dan menahan diri dari ajakan syahwat.

Riyadhah dan latihan khusus kaum Sufi untuk membersihkan hati adalah dengan DZIKRULLAH, berdzikir dengan menyebut nama Allah, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Al-Baqarah 152 : “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu; dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni’mat)- Ku.”, dan;

Al-Ahzab 35 :“Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak- banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang”, dan;

Al-Ahzab 35:“Adapun orang laki-laki yang banyak berdzikrullah, demikian juga orang-orang wanita, disedikan Allah baginya ampunan dan pahala yang besar”   

Dan Ar-Ra’d 28 ; “(yaitu) orang-orang yang beriman dan dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikrullah. Ingatlah hanya dengan dzikrullah hati menjadi tenang”.

Landasan lain yang digunakan kaum Sufi adalah sabda-sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: “Bahwasanya hati itu itu kotor seperti besi yang berkarat dan pembersihnya adalah Dzikrullah”, “Bagi setiap sesuatu ada alat pembersihnya, dan alat pembersih hati adalah “DZIKRULLAH”, dan “Jauhkanlah Syaithanmu itu dengan ucapan ‘LAA ILAAHA ILLALLAH, MUHAMMADUR RASULULLAH’, karena syaithan itu kesakitan dengan ucapan kalimat tersebut, sebagaimana kesakitan unta salah seorang kamu sebab banyaknya penunggang dan banjirnya muatan diatasnya”, “Dzikir kepada Allah SWT, jadi benteng dari godaan syaithan”, dan “Allah berfirman ‘LAA ILAAHA ILLALLAH adalah bentengKu. Barang siapa mengucapkannya, masuklah ia kedalam bentengKu. Dan barang siapa masuk ke dalam bentengku, maka amanlah ia daripada azabKu. (Hadist Qudsi).”

Adapun kejauhan dan kedekatan seorang hamba dari Tuhannya bukanlah berarti kejauhan atau kedekatan tempat dan waktu, tetapi sesungguhnya kejauhan atau kedekatan itu semata-mata karena lupa atau ingat hati terhadap Allah.[14] Rasulullah SAW bersabda: “Firman Allah Ta’ala, aku ini sebagaimana yang disangka oleh hambaku, Aku bersama dia apabila ia ingat kepadaKu, apabila ia mengingatKu dalam dirinya, Akupun ingat padanya dalam diriKu, dan apabila ia mengingatKu dalam ruang yang luas, aku pun ingat padanya dalam ruang yang lebih baik.” (Hadis Qudtsi diriwayatkan oleh Bukhari).  
Dzikrullah itu dapat mengangkat seorang hamba yang mu’min dari bumi syahwat ke langit ma’rifat. Rasulullah SAW bersabda “Tidak ada seorangpun yang berkata Laa Ilaaha Illallah secara ikhlas dalam hatinya, kecuali Tuhan membukakan pintu langit sehingga ia bisa meninjau arasy.

Anggapan umum tentang Tasawwuf bahwa tasawwuf itu anti dunia dan mereka meninggalkan segala hal yang berbau dunia adalah keliru, karena kaum Sufi hanya menjauhi sesuatu, termasuk dunia, yang menghalangi mereka berjalan menuju Allah. Sikap zuhud ini mereka pegang berdasarkan Firman Allah dalam Al- Qur’an Surat Al-Munafiquun ayat 8 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.”

Akan tetapi apabila sesuatu, termasuk dunia, itu memperkuat ibadah mereka terhadap Allah, apalagi itu perintah Allah dan Rasulnya, merekapun akan mengambilnya, ini dilandaskan pada Al-Quran Q.S Al-Qosas 77 : “Kejarlah apa yang diberikan Tuhan untuk akhirat, tetapi janganlah engkau lupa akan nasibmu di dunia. Berbuat baiklah sebagaimana Tuhan berbuat baik kepadamu, janganlah bercita-cita berbuat di atas muka bumi ini karena Allah tidak menyukai mereka yang berbuat kerusakan”,

Dan Q.S. Al-Baqarah 60 ;“Makan dan minumlah kamu dari rezki yang dikaruniakan Allah, dan janganlah kamu berlomba-lomba berbuat kerusakan di atas bumi ini”,

Dan Sabda Nabi Muhammada SAW: “Bukanlah orang baik jika engkau tinggalkan dunia untuk akhirat atau sebaliknya meninggalkan akhirat untuk dunia. Hendaklah mencapai kedua-duanya karena dunia itu jalan ke akhirat dan jangan kamu bergantung kepada manusia” (Riwayat Ibn As-sakir).

Syeikh Abdul Qadir Al-Jaelani berkata: “Harta benda itu adalah khadammu dan engkau khadam Allah. Maka hidupmu didunia ini harus menjadi manusia tauladan dan hidupmu di akhirat kelak menjadi orang yang mulia.”[15]

Para ulama besar kaum muslimin sama sekali tidak menentang tasawuf, tercatat banyak dari mereka yang menggabungkan diri sebagai pengikut dan murid tasawuf, para ulama tersebut berkhidmat dibawah bimbingan seorang mursyd tarekat yang arif, bahkan walaupun ulama itu lebih luas wawasannya tentang pengetahuan syari’at Islam, namun mereka tetap menghormati para syaikh yang mulia, hal ini dikarenakan ilmu2 syari’at yang diperoleh dari jalur pendidikan formal adalah ilmu lahiriah, sedangkan untuk memperoleh ilmu batiniyah dalam membentuk “qalbun salim / akhlak yang mulia”, seseorang harus menyerahkan dirinya untuk berkhidmat dibawah bimbingan seorang mursyd Tarekat yang sejati. (yang silsilah keilmuannya jika dirunut keatas akan sampai kepada Nabi Muhammad SAW)[16]

EMPAT ORANG IMAM MAZHAB SUNNI, semuanya mempunyai seorang guru mursyd tarekat, mereka mempelajari Islam dalam sisi esoterisnya yang indah dan sangat agung, semua menyadari bahwa ilmu syariat harus didukung oleh ilmu tasawuf sehingga tercapai pengetahuan sejati mengenai hakikat ibadah yang sebenarnya.[17]

IMAM ABU HANIFAH (85 H -150 H) (Nu’man bin Tsabit - Ulama besar pendiri
mazhab Hanafi), murid dari Ahli Silsilah Tarekat Naqsyabandi yaitu Imam Jafar as Shadiq ra. Jalaluddin as Suyuthi dalam kitab Durr al Mantsur, meriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah berkata ; “Jika tidak karena dua tahun, aku telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Imam Jafar as Shadiq, maka saya mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar”.

IMAM MALIKI (Malik bin Anas - Ulama besar pendiri mazhab Maliki) juga murid Imam Jafar as Shadiq ra, menyatakan mendukung ilmu tasawuf : “Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawuf tanpa fiqih maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqih tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dengan disertai fiqih dia meraih Kebenaran dan Realitas dalam Islam.” (’Ali al-Adawi dalam kitab Ulama fiqih, juz 2, hal. 195 yang meriwayatkan dari Imam Abul Hasan).

IMAM SYAFI’I (Muhammad bin Idris, 150-205 H), ulama besar pendiri mazhab Syafi’i berkata ; Saya berkumpul bersama orang-orang sufi dan menerima 3 ilmu:
1.      Mereka mengajariku bagaimana berbicara.
2.      Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan kelembutan hati.
3.      Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf.

IMAM AHMAD BIN HANBAL (164-241 H), ulama besar pendiri mazhab Hanbali berkata, “Anakku, kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka selalu mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka adalah orang-orang zuhud yang memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi. Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka”

SYAIKH FAKHRUDDIN AR RAZI (544-606 H)Ulama besar dan ahli hadits) berkata : Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan hati mereka dari kehidupan dunia dan menjaga diri agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat Allah pada seluruh tindakan dan perilaku .”

IMAM AL MUHASIBI (243 H./857 M), Imam al-Muhasibi meriwayatkan dari Rasul, “Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang akan menjadi kelompok yang selamat” . Dan Allah yang lebih mengetahui bahwa satu itu adalah Golongan orang TASAWUF.

IMAM AL QUSHAYRI (465 H./1072 M), Imam al-Qushayri tentang Tasawuf:
“Allah membuat golongan ini yang terbaik dari wali wali- Nya dan Dia mengangkat mereka di atas seluruh hamba-hamba-Nya sesudah para Rasul dan Nabi, dan Dia memberi hati mereka rahasia Kehadiran Ilahi-Nya dan Dia memilih mereka diantara umat-Nya yang menerima cahaya-Nya. Mereka adalah sarana kemanusiaan, Mereka menyucikan diri dari segala hubungan dengan dunia dan Dia mengangkat mereka ke kedudukan tertinggi dalam penampakan (kasyaf).

IMAM NAWAWI (620-676 H./1223-1278 M), dalam suratnya al-Maqasid ;
“Ciri jalan sufi ada 5: menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri mengikuti Sunah Rasul dengan perbuatan dan kata menghindari ketergantungan kepada orang lain, bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit, selalu merujuk masalah kepada Allah swt.

IBNU KHALDUN (733-808 H), ulama besar dan filosof Islam berkata ; “Jalan sufi adalah jalan salaf, yakni jalannya para ulama terdahulu di antara para sahabat Rasulullah Saww, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in. Asasnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan serta kesenangan dunia.”

IMAM JALALUDDIN AS SUYUTI (Ulama besar ahli tafsir Qur’an dan hadits) didalam kitab Ta’yad al haqiqat al ‘Aliyyah, hal. 57 berkata, “Tasawuf yang dianut oleh ahlinya adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Ilmu ini menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi Saww dan meninggalkan bid’ah.”

TAJUDDIN AS SUBKI, dalam Kitab Mu’iid an-Na’iim, hal. 190, tentang Tasawuf : “Semoga Allah memuji mereka dan memberi salam kepada mereka dan menjadikan kita bersama mereka di dalam sorga. Banyak hal yang telah dikatakan tentang mereka dan terlalu banyak orang-orang bodoh yang mengatakan hal-hal yang tidak berhubungan dengan mereka. Dan yang benar adalah bahwa mereka meninggalkan dunia dan menyibukkan diri dengan ibadah” Dia berkata pula : “Mereka adalah manusia-manusia yang dekat dengan Allah yang doa dan shalatnya diterima Allah, dan melalui mereka Allah membantu manusia”

IBNU ‘ABIDIN, ulama besar, dalam Rasa’il Ibn cAbidin (p. 172-173) menyatakan ;
” Para pencari jalan ini tidak mendengar kecuali Kehadiran Ilahi dan mereka tidak mencintai selain Dia. Jika mereka mengingat Dia mereka menangis. Jika mereka memikirkan Dia mereka bahagia. Jika mereka menemukan Dia mereka sadar. Jika mereka melihat Dia mereka akan tenang. Jika mereka berjalan dalan Kehadiran Ilahi, mereka menjadi lembut. Mereka mabuk dengan Rahmat-Nya. Semoga Allah merahmati mereka”.
Bottom of FormTop of Form
C.    Kehidupan Shufi Nabi Muhammad SAW. Dan Para Khalifah

Berdasarkan hadist-hadist dapat diketahui Tentang kehidupan sufi Rasulullah dan Para Sahabat, bahwa sebenarnya kehidupan shufi sudah terdapat pada diri nabi Muhammad SAW, yang  dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam kehidupan beliau sehari-hari yang amat sederhana dan tahan menderita, disamping menghabiskan waktunya untuk beribadah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah, bahkan sejak sebelum beliau diangkat sebagai Rasul Allah. Demikian juga banyak tercatat di dalam sejarah tentang keutamaan pribadi para sahabat. Mereka meneladan langsung akhlak nabi. Pribadi mereka digembleng oleh Rasulullah, menjadi manusia-manusia utama yang akan dicontoh dan ditiru oleh ummat yang dibelakang mereka.[18]

Sebelum diangkat menjadi Rasul, beliau seringkali melakukan kegiatan shufi dengan berkhalawat (mengasingkan diri) di Gua Hira, berbulan-bulan lamanya, terutama pada bulan Ramadhan, disana nabi banyak berzikir dan bertafakur mendekatkan diri kepada Allah, sampai menerima wahyu pertama saat diangkat sebagai Rasul Allah.

Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalawat. Kemudian puncak kedekatan Nabi dengan Allah tercapai ketika melakukan Isra Mikraj, nabi telah sampai ke Sidratul muntaha, bahkan telah sampai  berdialog dengan Allah, ketika menerima perintah tentang shalat lima waktu.  

Setelah Beliau resmi diangkat sebagai Nabi utusan Allah, keadaan dan cara hidup beliau masih ditandai oleh jiwa dan suasana kerakyatan, yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona dengan kemewahan dunia meskipun beliau berada dalam lingkaran keadaan hidup yang serba dapat terpenuhi semua keinginan lantaran kekuasaannya sebagai Nabi yang menjadi kekasih Tuhan- Nya. Pada waktu malam sedikit sekali tidur, waktunya dihabiskan untuk bertawajjuh kepada Allah dengan memperbanyak dzikir kepada-Nya. Tempat tidur beliau terdiri dari balai kayu biasa dengan alas tikar dari daun kurma, tidak pernah memakai pakaian yang terdiri dari wool, meskipun mampu membelinya. Pendek kata beliau lebih cinta hidup dalam suasana sederhana ( meskipun pangkatnya Nabi ), sehingga dalam salah satu doanya :”Wahai Allah, Hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin” (HR.at-Tirmizi, Ibnu Majah dan al-Hakim).[19]
Dalam satu riwayat dari Aisyah RA ; Suatu malam nabi  mengerjakan shalat malam, didalam salat lututnya bergetar karena panjang dan banyak rakaatnya. Tatkala rukuk dan sujud terdengar suara tangisnya namun beliau tetap melaksanakan salat sampai azan Bilal bin Rabah terdengar diwaktu subuh. Melihat nabi demikian tekun melakukan salat, Aisyah bertanya:Wahai Junjungan, bukankah dosamu yang terdahulu dan yang akan datang diampuni Allah, mengapa engkau masih terlalu banyak melakukan salat?Nabi SAW menjawab ; Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur. (HR.Bukhari dan Muslim).

Selain itu Nabi banyak berzikir. Beliau berkata: “Sesungguhnya saya meminta ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya setiap hari tujuh puluh kali” (HR.at-Tabrani).

Akhlak Nabi Muhammad merupakan acuan akhlak yang tidak ada bandingannya. dapat dilihat dalam firman Allah SWT yang artinya: “Dan sesungguhnya kami (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS.Al Qalam:4).
Ketika Aisyah ditanya tentang Akhlak Nabi SAW, Beliau menjawab: Akhlaknya adalah Al-Qur’an”(HR.Ahmad dan Muslim), dan ;

Surat Al-Ahzab ayat 21 : Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.”.

Rasulullah tidak membenci dunia, tetapi tidak mau terpengaruh oleh urusan dunia. Para sahabat pernah berhimpun di rumah Utsman bin Mazhun Al-Jumahy yang terdiri dari ; Ali, Abu Bakar, Abdullah bin mas’ut, Abu Zar, Salim Maula, Abi Huzaifah, Abdullah bin Umar, Miqdad bin Aswad, Salman Al-Farisi, Ma’qal bin Muqrin dan tuan rumah, mereka bermusyawarah untuk berpuasa siang hari, tidak tidur di atas kasur, tidak memakan daging dan lemak, tidak mendekati istri, tidak memakai minyak wangi, akan memakai  wool kasar, akan meninggalkan dunia, akan mengembara di muka bumi. Maka Rasulullah SAW. bersabda : Sesungguhnya aku tidak menyuruh yang demikian ! Sesungguhnya ada hak kewajibanmu terhadap dirimu, maka puasalah kamu dan berbuka, bangunlah dan beribadat pada malam hari dan tidur, aku berpuasa dan berbuka, aku makan daging dan lemak, aku datangi perempuan-perempuan. Barang siapa yang tidak suka kepada sunnahku itu, maka tidaklah dia termasuk sebagian dari ummatku. Kemudian dihimpunnya orang banyak lalu lalu ia berkhutbah dihadapan mereka, katanya : apakah halnya dengan beberapa kaum, mereka mengharamkan perempuan, makanan, wangi-wangian, tidur dan syahwat dunia ? Ketahuilah bahwa aku tidak menyuruh kamu menjadi pendeta-pendeta dan rahib-rahib. Maka sesungguhnya tidak ada di dalam agamaku meninggalkan makan daging dan meninggalkan perempuan dan tidak pula membuat-buat ibadat. Dan bahwasanya perlawatan ummatku ialah puasa dan rubbaniyyah (kebiasaan) mereka adalah jihad. Sembahlah Allah dan jangan sekutukan sesuatu dengan Dia. Kerjakanlah haji dan umroh, dirikanlah shalat, keluarkan zakat, puasalah di bulan Ramadhan dan tetaplah atas yang demikian, niscaya kamu akan dimantapkan. Sesunggguhnya orang-orang yang dahulu dari pada kamu binasa sebab memberat-beratkan (urusan agama). Mereka berat-beratkan atas diri mereka, lantas diberatkan pula oleh Allah. Maka itulah peninggalan-peninggalan mereka pada gereja dan tempat-tempat peribadatan.

Kehidupan para sahabat juga dapat dijadikan acuan oleh para sufi sebagai murid langsung Rasulullah ;

Abu Bakar al-Siddiq yang hartawan termasyur dengan kedermawanannya, ketaatan, tawadlu’, wara’ dan mempunyai pribadi yang mulia, sehingga ia mendapat tempat yang utama di hati Rasulullah, ia telah mengorbankan harta bendanya secara keseluruhan untuk kepentingan agama. Pada mulanya ia adalah salah seorang Kuraisy yang kaya. Setelah masuk Islam, ia menjadi orang yang sangat sederhana. Ketika menghadapi perang Tabuk, Rasulullah bertanya kepada para sahabat ; Siapa yang bersedia memberikan harta bendanya dijalan Allah. Abu Bakarlah yang pertama menjawab: Saya ya Rasulullah. Akhirnya Abu Bakar memberikan seluruh harta-bendanya untuk jalan Allah. Melihat demikian, Nabi bertanya : Apalagi yang tinggal untukmu wahai Abu Bakar? ia menjawab:Cukup bagiku Allah dan Rasul-Nya.”

Diriwayatkan bahwa selama enam hari dalam seminggu Abu Bakar selalu dalam keadaan lapar. Pada suatu hari Rasulullah SAW pergi kemesjid. Disana Nabi SAW bertemu Abu Bakar dan Umar bin Khattab, kemudian ia bertanya: Kenapa anda berdua sudah ada di mesjid?Kedua sahabat menjawab:”Karena menghibur lapar.”

Diceritakan bahwa Abu Bakar hanya memiliki sehelai pakaian. Ia berkata: Jika seorang hamba begitu dipesonakan oleh hiasan dunia, Allah membencinya sampai ia meninggalkan perhiasan itu. Oleh karena itu Abu Bakar memilih takwa sebagai ”pakaiannya.” Ia menghiasi dirinya dengan sifat rendah hati, santun, sabar, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah dan zikir.

Setelah Abu Bakar dipilih sebagai Khalifah, maka ia menyampaikan ucapannya yang pertama pada orang ramai: "Saudara-saudara sekalian,  saya sudah terpilih untuk memimpin kamu semua, dan saya bukanlah orang yang terbaik diantara kamu sekalian. Kalau saya berlaku baik bantulah saya, kalau anda sekalian melihat saya salah, maka luruskanlah. Kebenaran adalah suatu amanah, dan dusta adalah  pengkhianatan.   Ikutlah saya selama saya taat kepada perintah Allah dan RasulNya. Tetapi apabila saya melanggar (perintah) Allah dan RasulNya maka tidak wajib anda sekalian mentaati saya.  sekalian." [20] 

Umar bin Khattab terkenal dengan keheningan jiwa dan kebersihan kalbunya, sehingga Rasulullah SAW berkata:” Allah telah menjadikan kebenaran pada lidah dan hati Umar.”   Umar menghabiskan malamnya beribadah, demikian dilakukan untuk mengibangi waktu siangnya yang banyak disita untuk urusan kepentingan umat.  

Umar bin Khattab ra. Pekerjaan sehari-harinya adalah berdagang, setelah menjabat sebagai khalifah, ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas sobekan, Beliau mengumpulkan rakyatnya di Madinah Munawwarah, lalu beliau berkata : Saya biasa berdagang, sekarang kalian telah memberiku suatu kesibukan sehingga saya tidak dapat berdagang lagi. Sekarang bagaimana dengan mata pencaharian saya?” orang-orang berselisih pendapat tentang jumlah tunjangan bagi Umar ra. Sedangkan Ali ra. Hanya berdiam diri. Umar ra. Bertanya kepadanya ; bagaimanakah pendapatmu wahai Ali?” jawab Ali ra. “ ambilah uang sekadar untuk mencukupi keperluan keluargamu.” Umar sangat menyetujui usul Ali ra. Maka ditentukanlah uang tunjangan untuk Umar ra. Beberapa lama kemudian, beberapa orang sahabat termasuk Ali ra, Utsman ra, Zubair ra, dan Thalhah ra. Mengusulkan agar tunjangan untuk Umar ditambah karena terlalu sedikit. Tetapi tak seorang pun yang berani mengemukakannya secara langsung kepada Umar. Akhirnya mereka menemui Hafshah putri Umar, juga ummul mukminin istri Rasulullah. Mereka meminta agar ia mengajukan usul mereka kepada Umar, tanpa menyebutkan nama mereka. Ketika Hafshah mengajukan usul tersebut, wajah Umar menjadi merah karena marahnya. Umar bertanya ; siapakah yang mengusulkan ini?, Hafshah menyahut ; “jawablah dulu bagaimanakah pendapatmu?” Umar ra. Berkata: “andaikan saya tahu siapakah mereka itu, niscaya akan saya tampar wajah mereka. Hafshah ceritkanlah tentang pakaian Nabi saw. Yang terbaik yang pernah beliau miliki di rumahnya, “Hafshah r.ha. menjawab,” beliau memiliki dua pakaian berwarna kemerahan yang biasa  beliau kenakan pada hari Jum’at atau ketika menemui tamu. kata Umar ra. “sebutkan makanan apakah yang terlezat, yang pernah dimakan oleh Nabi saw. Di rumahmu?” jawab Hafshah r.ha. “roti yang terbuat dari tepung kasar lalu dicelupkan ke dalam kaleng berisi minyak. Kami memakannya ketika masih panas, kemudian dilipat menjadi beberapa lipatan. Pernah suatu hari saya menyapu sekerat roti dengan bekas-bekas mentega yang terdapat dalam sebuah kaleng minyak yang hampir kosong. Beliau saw. Memakannya dengan penuh kenikmatan, dan beliau juga ingin membagi-bagikannya kepada orang lain.” Umar ra. Berkata, “sebutkanlah apa alas tidur terbaik yang pernah digunakan oleh Rasulullah saw. Di rumahmu?” hafshah r.ha. menjawab, “sehelai kain tebal, pada musim panas, kain itu dilipat menjadi empat, dan pada musim dingin dilipat menjadi dua, separuh digunakan untuk alas tidurnya dan yang separuh lagi untuk selimutnya. “Umar ra. Berkata, nah Hafshah, sekarang pergilah dan katakan kepada mereka bahwa Nabi saw. telah menunjukkan contoh kehidupan yang terbaik, dan aku harus mengikutinya. Perumpamaanku dengan dua orang sahabatku, yaitu Rasulullah saw. Dan Abu Bakar ra. Adalah seperti tiga orang musafir yang sedang melalui sebuah jalan yang sama. Musafir yang pertama telah melalui jalan tersebut dan telah sampai ke tempat tujuan. Adapun yang ketiga ,sekarang baru memulai perjalanannya. jika ia menempuh jalan yang telah mereka tempuh sebelumnya, maka ia akan menjumpai keduanya di tempat tujuan yang sama. jika ia tidak menempuh jalan mereka yang mendahuluinya,tentu ia tidak akan sampai ke tempat mereka.

Diceritakan, Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khatab, ketika masih kecil bermain dengan anak-anak yang lain. Anak-anak itu semua mengejek Abdullah karena pakaian yang dipakainya penuh dengan tambalan. Hal ini disampaikannya kepada ayahnya yang ketika itu menjabat sebagai khalifah. Umar merasa sedih karena pada saat itu tidak mempunyai uang untuk membeli pakaian anaknya. Oleh karena itu ia membuat surat kepada pegawai Baitulmal (Pembendaharaan Negara) diminta dipinjami uang dan pada bulan depan akan dibayar dengan jalan memotong gajinya. Pegawai Baitulmal menjawab surat itu dengan mengajukan suatu pertanyaan, apakah Umar yakin umurnya akan sampai bulan depan. Maka dengan  terharu dengan diiringi derai air mata , Umar menulis lagi sepucuk surat kepada pegawai Baitul Mal bahwa ia tidak lagi meminjam uang karena tidak yakin umurnya sampai bulan yang akan datang.

Pada suatu saat, ketika Umar ra. Sedang menikmati makanannya, datanglah pelayan beliau memberitahukan bahwa Utbah bin Abi Farqad ingin menemui beliau. Setelah Umar ra. Mengijinkannya, masuklah Utbah ra. Lalu beliau mengajaknya untuk makan bersama. Utbahpun menerima tawaran tersebut. Tetapi roti yang di hidangkan adalah roti keras dan tebal sehingga ia sangat kesulitan untuk menelannya. Ia bertanya ;
mengapa engkau tidak menggunakan tepung yang baik untuk membuat roti? “jawab Umar ra. Apakah semua orang islam mampu memakan roti dari tepung yang baik? Sahut Utbah, “tidak semuanya.’ Umar ra. Berkata, tampaknya engkau ingin agar saya menikmati semua jenis kenikmatan hidup didunia ini .

Usman bin Affan adalah seorang hartawan yang dermawan, telah memberikan sebagian dari hartanya untuk kepentingan agama. Bila ia berada di rumah, tak pernah lepas Al-Qur’an dari tangannya. Beliau kerap kali mentilawahkan Al-Qur’an dan memahami kandungannya sampai larut malam.

Usman bin Affan yang menjadi teladan para sufi dalam banyak hal. Usman adalah seorang yang zuhud, tawaduk (merendahkan diri dihadapan Allah SWT), banyak mengingat Allah SWT, banyak membaca ayat-ayat Allah SWT, dan memiliki akhlak yang terpuji. Diriwayatkan ketika menghadapi Perang Tabuk, sementara kaum muslimin sedang menghadapi paceklik, Usman memberikan bantuan yang besar berupa kendaraan dan perbekalan tentara. Diriwayatkan pula, Usman telah membeli sebuah telaga milik seorang Yahudi untuk kaum muslimin. Hal ini dilakukan karena air telaga tersebut tidak boleh diambil oleh kaum muslimin.

Dimasa pemerintahan Abu Bakar terjadi kemarau panjang. Banyak rakyat yang mengadu kepada khalifah dengan menerangkan kesulitan hidup mereka. Seandainya rakyat tidak segera dibantu, kelaparan akan banyak merenggut nyawa. Pada saat paceklik ini Usman menyumbangkan bahan makanan sebanyak seribu ekor unta.  

Ali bin Abi Thalib termasyhur dengan tawadlu’nya, beliau tidak malu memakai pakaian yang bertambal-tambal, bahkan ia sendiri pulalah menambalnya.  Ali bin Abi Talib yang tidak kurang pula keteladanannya dalam dunia kerohanian. Ia mendapat tempat khusus di kalangan para sufi. Bagi mereka Ali merupakan guru kerohanian yang utama. Abu Ali ar-Ruzbari , seorang tokoh sufi, mengatakan bahwa Ali dianugerahi Ilmu Laduni. Ilmu itu, sebelumnya, secara khusus diberikan Allah SWT kepada Nabi Khaidir AS, seperti firmannya yang artinya:…”dan telah Kami ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami.” (QS.Al Kahfi:65).

D.    Sejarah Perkembangan Tashawwuf  

Berbicara masalah sejarah tashawwuf sesungguhnya sama dengan pertumbuhan dan perkembangan islam itu sendiri, bahwa mengenali sejarah tasawuf sama saja dengan memahami potongan-potongan sejarah Islam dan para pemeluknya, terutama pada masa Nabi, sebab, secara faktual, tasawuf mempunyai kaitan erat dengan prosesi ritual ibadah yang dilaksanakan oleh para Sahabat di bawah bimbingan Nabi.

Tasawuf merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan rasulullah saw, belum dikenal istilah tasawuf, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam sebagaimana ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Istilah tasawuf baru muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh abu Hasyimal-Sufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya.

Dalam sejarah Islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud pada akhir abad I H dan permulaan abad II H. Secara etimologis, zuhud artinya, tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[21]   

Menurut Harun Nasution, station terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhud yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang harus terlebih dahulu menjadi zahid, sesudahnya barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi tidak setiap zahid merupakan sufi.[22]

Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, zuhud  berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal-hal yang bersifat duniawi. Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa zuhud  adalah “berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi makan dan memperbanyak dzikir”[23]  Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya.[24]  

Bagi Abu Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya.[25] Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki.

Zuhud menurut Nabi serta para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari hal-hal duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam menghadapi segala sesuatu, sebagaimana diisyaratkan firman – firman Allah yang berikut : ”Dan begitulah Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil serta pilihan” (QS. Al-Baqarah, 2:143) ;“Dan carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu dari (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi”  (QS. Al-Qashash, 28:77).  Sementara dalam hadits disabdakan : “Bekerjalah untuk duniamu seakan kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati esok hari”[26]   

Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalam tasawuf. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat,meskipun dengan sistematika yang berbeda – beda, al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan maqam : al-taubah,al-wara’,al-zuhud, al-tawakkul dan al-ridla.[27]         

Para peneliti baik dari kalangan orientalis maupun Islam  sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi zuhud. Nicholson dan Ignaz Goldziher menganggap zuhud muncul dikarenakan dua faktor utama,yaitu : Islam itu sendiri dan kependetaan Nasrani, sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauhmana dampak faktor yang terakhir. [28]
Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal – usul zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh Phytagoras  yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwadalam rangka penyucian roh yang telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan faham nirwananya bahwa untukmencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan mendekatkandiri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.[29]
Setelah periode sahabat berlalu, muncul pula periode tabiin (sekitar abad ke I dan ke II H). Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah darimasa sebelumnya. Konflik –konflik sosial politik yang bermula dari masa Usman bin Affan berkepanjangan sampai masa – masa sesudahnya.Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok kelompok Bani Umayyah,Syiah, Khawarij, dan Murjiah. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah – khalifah BaniUmayyah secara bebas berbuat kezaliman – kezaliman, terutama terhadap kelompok Syiah, yakni kelompok lawan politiknya yang paling gencar menentangnya.Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein bin Alibin Abi Thalib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti – hentinya itu membuat sekelompok penduduk Kufah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut kelompoknya itu dengan Tawwabun (kaum Tawabin). Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaumTawabin itu dipimpin oleh Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi[30]
    
Disamping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosialpun terjadi, hal ini mempunyai pengaruh yang besar dalam pertumbuhan kehidupan beragama masyarakat Islam. Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat,secara umum kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana. Ketika Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan,hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama terjadi di kalangan istana.Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah tampak semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi SAW serta sahabat utama dan semakin dekat dengan tradisi kehidupan raja – raja Romawi. Kemudian anaknya,Yazid (memerintah 61 H/680 M – 64 H/683M), dikenalsebagai seorang pemabuk. Dalam sejarah, Yazid dikenal sebagai seorang pemabuk. Dalam situasi demikian kaum muslimin yang saleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh,dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Diantara para penyeru tersebut ialah Abu Dzar al-Ghiffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dalam Islam. Sejak saat itu kehidupan zuhud menyebar luas dikalangan masyarakat (I dan II H), sehingga muncul berbagai aliran yaitu :
                               I.            Aliran Madinah, sejak masa yang dini,di Madinah telah muncul para zahid. Mereka kuat berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-sunnah, dan mereka menetapkan Rasulullah sebagai panutan kezuhudannya. Diantara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu Ubaidah al-jarrah (w.18) zuhud aliran ini tetap bercorak murni Islam dan konsisten pada ajaran –ajaran Islam.
                            II.             Aliran Bashrah, Mereka adalah penganut aliran ahlus sunnah, tapi cenderung pada aliran mu’tazilah dan qadariyah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan al-Bashri, Malik ibn Dinar. Corak yang menonjol dari para zahid Bashrah ialah zuhud dan rasa takut yang berlebih –lebihan.
                         III.            Aliran Kufah, berasal dari Yaman.Aliran ini bercorak idealistis. Dalam aqidah mereka cenderung pada aliran Syi’ah dan Rajaiyyah.dan ini tidak aneh, sebab aliran Syi’ah pertama kali muncul di Kufah. Para tokoh zahid Kufah pada abad pertama Hijriyah ialah ar-Rabi’ ibn Khatsim (w. 67 H.) .
                         IV.             Aliran Mesir, Pada abad – abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran zuhud lain, yang dilupakan para orientalis, dan aliran ini tampaknya bercorak salafi. Sebagaimana  diketahui, sejak penaklukan Islam terhadap Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu,misalnya Amru ibn al-Ash, Abdullah ibn Amru ibn al-Ash yang terkenal kezuhudannya, al-Zubair bin Awwam dan Miqdad ibn al-Aswad.
Suatu kenyataan kelahiran tasawuf bermula dari gerakan zuhud dalam Islam. Istilah tasawuf muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250 H.) dengan meletakkan al-sufy di belakang namanya. Jika pada akhir abad II ajaran sufi berupa kezuhudan, maka abad III H, orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana fi mahbub), bersatu dalam kecintaan (ittihad fi mahbub), bertemu dengan Tuhan (liqa’), menjadi satu dengan Tuhan (‘ain al jama’), sejak itu muncul karya –karya tentang tasawuf oleh para sufi pada masa itu seperti al-muhasibi (w. 243 H.), al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H.), dan al-Junaidi (w. 297 H.) karena itu abad III H dapat dikatakan sebagai abad mula tersusunnya ilmu tasawuf.[31]

Tahap pertama Tasawuf (Abad III dan IV H), wacana tentang zuhud mulai digantikan oleh tasawuf. Ajaran para sufi ini pun tidak lagi terbatas pada promosi gaya hidup zuhud belaka, dalam tahap ini mulai memperkenal­kan disiplin dan metode tasawuf, termasuk kon­sep-konsep dan terminologi baru yang sebelumnya tidak dikenal ; maqâm, hâl, ma‘­rifah, tauhîd (dalam makna­­­­nya yang khas tasawuf), fanâ’, hulûl, dan lain-lain. Tokoh-tokohnya termasuk Ma‘ruf Al-Karkhi (w. 200 H), Abu Sulaiman Al-Darani (w. 254 H), Dzul Nun Al-Mishri (w. 245 H), dan Junaid Al-Baghdadi. Pada masa itu juga muncul karya-karya tulis yang membahas tasawuf secara teoretis ini, termasuk karya-karya Al-Harits ibn Asad Al-Muhasibi (w. 243 H), Abu Said Al-Kharraz (w. 279 H), Al-Hakim Al-Tirmidzi (w. 285 H), dan Junaid Al-Baghdadi (w. 297 H). Masih di masa ini mulai muncul para sufi yang be­lakangan dikenal mempromosikan tasawuf yang ber­orientasi “kemabukan” (sukr)  antara lain Al-Hallaj dan Ba Yazid Al-Busthami. Di antara ciri tasawuf mereka adalah lontaran-lontaran ungkapan ganjil yang sering­kali susah dipahami dan terkesan melanggar keyakinan umum kaum Muslim (syathahât atau syathhiyât), semisal “Akulah Sang Kebenaran” (Anâ Al-Haqq) atau “Tak ada apa pun da­lam jubah—yang dipakai oleh Busthami—selain Allah” (mâ fil-jubbah illâ Allâh), dan sebagainya.

Tahap Tasawuf Falsafi (Abad VI H), merupakan perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn ‘Arabî adalah tokoh utama aliran ini, di samping juga Al-Qunawi, muridnya. Sebagian ahli memasukkan Al-Hallaj dan Abu (Ba) Yazid Al-Busthami juga ke dalam kelompok ini. Aliran ini kadang disebut juga dengan ‘Irfân (Gnos­tisisme) karena orientasinya pada pengetahuan (ma‘rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu.

Tahap Tarekat (Abad VII H dan seterusnya) Meskipun tarekat telah dikenal sejak jauh sebelumnya, seperti Tarekat Junaidiyyah yang bersumber pada ajaran  Abu Al-Qasim Al-Junaid Al-Baghdadi (w. 297 H) atau Nuriyyah yang didirikan oleh Abu Hasan ibn Muhammad Nuri (w. 295 H), baru pada masa-masa inilah tarekat ber­kembang dengan pesat. Termasuk di antaranya: Tarekat Qadiriyyah yang bersumber pada ajaran Abdul Qadir Al-Jilani (w. 561 H) dari Jilan (termasuk wilayah Iran sekarang), Tarekat Rifa‘iyyah yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 578 H), dan Tarekat Suhrawardiyyah yang didirikan oleh Abu Najib Al-Suhrawardi (w. 563 H).

BAB III

A.    Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali

Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Imam Al-Ghazali), di dunia barat dikenal dengan sebutan Al-Gazel, lahir pada tanggal 17 Jumadil Awal tahun 450 Hijriah (1058 Masehi) di kota Thusi (Iran), memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad, adalah seorang ahli sains sekaligus ulama’ besar, tokoh tashawwuf terkemuka yang sangat terkenal, yang berhasil menyusun gagasan tashawwuf yang menciptakan kompromi antara syari’at dan hakikat atau tashawwuf menjadi bangunan baru yang cukup memuaskan kedua belah pihak, baik dari kalangan syar’I ataupun lebih-lebih kalangan sufi, dengan karya besarnya yang amat terkenal, kitab, “Ihya’ ‘Ulumuddin”.

Ayah beliau seorang fakir yang shalih, pengrajin kain shuf (kulit domba), selalu berkeliling mengujungi ahli fikih dan majelis ceramah nasihat dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya dan selalu berdoa diberi anak yang faqih dan ahli dalam ceramah nasihat. Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat.

Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan ; “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.” Setelah ayahnya meninggal, temannya tersebut mengajari keduanya ilmu sehingga habis harta peninggalan yang sedikit tersebut, Ia dan adiknya disarankan belajar pada sebuah madrasah, sekaligus untuk menyambung hidup mereka (465 H).

Imam Al-Ghazali belajar fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di Thusi, kemudian pergi ke Jurjan belajar kepada Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat, selanjutnya pergi ke kota Naisabur berguru pada Imam Haramain Al Juwaini, sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat yang membuat kagum gurunya, Al Juwaini.

Setelah Al Juwaini meninggal, ia pergi ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik, tempat berkumpul para ahli ilmu, menantang debat para ulama dan mengalahkan mereka, hingga Nidzamul Malik mengangkatnya jadi pengajar di Madrasah Nidzamiyah Baghdad(484 H), disinilah beliau berkembang, mencapai kedudukan yang sangat tinggi dan menjadi terkenal. Namun kedudukan dan ketinggian jabatan tidak membuatnya congkak dan cinta dunia, dalam jiwanya berkecamuk perang bathin yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan, la mengangkat saudaranya Ahmad sebagai penggantinya, lalu  meninggalkan Bagdad, kemudian pergi naik haji ke tanah suci Mekah (488 H).

Tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus, menziarahi Baitul Maqdis, kemudian kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah), tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar, melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun[32]

Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau diminta tinggal di Naisabur untuk mengajar di madrasah An Nidzamiyah, beberapa tahun kemudian pulang ke negerinya mendirikan satu madrasah dan asrama untuk orang-orang shufi di samping rumahnya.

Pada masa akhir hidupnya Imam Al-Ghazali menghabiskan waktunya mengajar para penuntut ilmu, beribadah, mengkhatam Al-Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, kembali mempelajari hadits  sampai meninggal dunia. Berkata Imam Adz Dzahabi ;
“Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.”

Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya) ; Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya, lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata ; “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). Beliau wafat di kota Thusi, hari Senin, 14 Jumada Akhir tahun 505 H, dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran.  

B.     Pemikiran  Tashawwuf  Imam Al-Ghazali

Sebagai tokoh sufi, Imam Al-Ghazali dikenal sebagai seorang ulama usul fiqh dengan karyanya al-mustashfa, juga sebagai tokoh filsafat dengan karyanya Tahafut al-Falasifah yang mengkritik konsep berfikir para filosof saat itu. Ia menganggap ajaran pemikiran filsafat para filosof telah melewati batas, sehingga menimbulkan kehawatiran mendalam dalam dirinya akan rusaknya akidah kaum filsafat, karena itu beliau berinisiatif untuk meluruskan pemikiran filsafat dengan menggagas kaedah-kaedah tasawuf sebagai jembatan guna mendamaikan syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami clash pada zaman itu, yang berhasil terkumpul dalam karya terbesarnya yang terkenal,”Ihya’ U’lum al-Din(The Revival of Religion Sciences).  

Menurut Imam Al-Ghazali, tema ilmu sufi adalah Dzat, sifat dan perbuatan Allah, buah dari pengetahuan tentang Allah adalah timbulnya sikap mencintai Allah, karena cinta tidak akan muncul tanpa “pengetahuan” dan perkenalan. Buah lain dari pengetahuan tentang Allah adalah “tenggelam dalam samudra Tauhid”, karena seorang ‘arif  tidak melihat apa-apa selain Allah, tidak kenal selain Dia, di dalam wujud ini tiada lain kecuali Allah dan perbuatan-Nya. Tidak ada perbuatan yang dapat dilihat manusia kecuali itu adalah perbuatan Allah. Setiap alam adalah ciptaan-Nya. Barang siapa melihat sesuatu sebagai hasil perbuatan Allah, maka ia tidak melihat kecuali dalam Allah, ia tidak menjadi arif kecuali demi Allah, tidak mencintai kecuali Allah. Kata beliau; “Mereka melatih hati, hingga Allah memperkenankan melihatNya.

Para sufi banyak berbicara tentang kasyf dan mu’ayanah, mampu berhubungan dengan alam malakut dan belajar darinya secara langsung, mampu mengetahui lauhul-mahfuzh dan rahasia-rahasia yang dikandungnya, namun bagaimanakah caranya agar manusia mampu mendapatkan kasyf dan mu’ayanah? Para sufi menjawab, caranya dengan menuntut ilmu dan mengamalkannya. Al-Ghazali mengatakan ; “Aku tahu bahwa tarekat mereka menjadi sempurna dengan ilmu dan amal

Jalan pertama, yaitu Ilmu, Imam Al-Ghazli mulai mendapatkan ilmu kaum sufi dari kitab Qut Al-Qulub Mu’amalah Al-Mahbub karya Abu Thalib Al-Makki dan kitab Ar-Ri’ayah li Huquq Allah karya Harits Al-Muhasibi, serta ucapan-ucapan pucuk pimpinan sufi semisal Al-Junaidi, As-Syibli, Al-Busthami, dan lain-lain. Katanya ; “Mendapatkan ilmu Tasawuf bagiku lebih mudah dari pada mengamalkannya. Aku mulai mempelajari ilmu kaum sufi dengan menelaah kitab-kitab dan ucapan-ucapan guru-guru mereka. Aku mendapatkan ilmu dengan cara mendengar dan belajar. Nampaklah bagiku bahwa keistimewaan guru besar sufi tidak mungkin digapai dengan cara belajar, tetapi dengan cara dzauq, hal, dan memperbaiki sifat diri.”

Jalan kedua, yaitu dengan cara Tahalli (menghias diri dengan sifat-sifat utama), Tkhalli (membersihkan diri dari sifat-sifat yang rendah dan tercela) agar manusia dapat memberesihkan hati dari pikiran selain Allah dan menghias hati dengan berzikir kepadaNya. Katanya ; “Adapun manfaat yang dicapai dari ilmu sufi adalah terbuangnya aral yang merintangi jiwa, mensucikan diri dari akhlaknya yang tercela dan sifatnya yang kotor, hingga dengan jiwa yang telah bersih itu hati menjadi kosong dari selain Allah dan dihiasi dengan dzikir kepada Allah.” [33]
Dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, ia menulis ; “Bagi hati, ada dan tiadanya sesuatu adalah sama. Lantas, bagaimanakah hati meninggalkan semua urusan Dunia? Demi Allah, ini adalah jalan yang sangat sukar,  jarang sekali ada manusai yang sanggup melakukannya” [34]

Imam Al-Ghazali di kenal sebagai orang yang haus ilmu pengetahuan, ia berusaha keras agar dapat mencapai suatu keyakinan dan mengetahui hakikat segala sesuatu, selalu bersikap kritis dan kadang tidak percaya terhadap adanya kebenaran semua macam pengetahuan, kecuali yang bersifat inderawi dan pengetahuan hakikat (oxioma atau sangat mendasar). Namun pada kedua pengetahuan inipun ia akhirnya tidak percaya (skeptis). Hal ini ia ungkapkan dalam kitab Al Mungidz : Sikap skeptis yang menimpa diriku dan yang berlangsung lama telah berakhir dengan suatu keadaan, dimana diriku tidak mempercayai kepada pengetahuan inderawi, bahkan keraguan-keraguan ini semakin mendalam, bagaimana pengetahuan inderawi itu bisa diterima seperti misalnya penglihatan sebagai inderawi.

Cukup lama Al-Ghazali berada dalam situasi tarik menarik antara dorongan hawa nafsu dan panggilan akhirat, hingga akhirnya membuat hatinya sedih dan kondisi fisiknya lemah, sampai-sampai dokter putus asa mengobatinya. Para dokter mengatakan ; “Penyakitnya bersumber dari hati dan merembet ke tubuhnya. Penyakitnya tidak bisa diobati kecuali mengistirahatkan pikiran dari factor-faktor yang membuatnya sakit”

Disaat menyadari ketidak mampuan dan semua upaya telah gagal, akupun mau tak mau harus kembali pada Allah dalam keadaan yang terpaksa dan tidak mempunyai pilihan lagi. Allah  menjawab doa yang terpaksa jika berdoa mengabulkan niatku, hinngga kini terasa mudah bagiku meninggalkan pangkat, harta, anak, dan teman.” [35]

Setelah Al-Ghazali melihat bahwa ahli ilmu kalam, filosof dan kaum batiniyah tidak mampu mengantarkannya mencapai keyakinannya dan hakikat, maka dia melirik tasawuf, menurut pandangannya adalah harapan terakhir yang bisa memberikannya kebahagiaan dan keyekinan. Ia mengatakan ; “setelah aku mempelajari ilmu-ilmu ini (kalam, filsafat, dan ajaran bathiniyah), aku mulai menempuh jalan para sufi.  

Pemikiran Tashawwuf  Imam Al-Ghazali bercorak Tashawwuf  Islam Sunni yang didirikan diatas pilar Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia berusaha mengembalikan tema-tema tentang Akhlaq, Suluk, atau Hal pada sumber Islam, beliau mengatakan : Saya tahu benar bahwa para Sufi adalah para pencari jalan Allah, dan bahwa mereka melakukan yang terbaik, dan jalan mereka adalah jalan terbaik dan akhlak mereka paling suci. Mereka membersihkan hati mereka dari selain Allah dan mereka menjadikan mereka sebagai jalan bagi sungai untuk mengalirnya kehadiran Ilahi [36]

Corak tasawuf Imam Al-Ghazali  lebih ditekankan pada adab dan tata krama., beliau berkata:Adab adalah pendidikan dhohir dan bathin, oleh karenanya apabila seorang hamba telah berbuat baik secara dhohir dan bathin maka ia telah menjadi sufi yang beradab. Barang siapa selalu berperilaku sesuai dengan Sunah maka akan menerangi hatinya dengan cahaya kemarifatan karena tidak ada kedudukan yang lebih mulia dari mengikuti Nabi Muhammad yang dicintai Allah dalam perintah, perbuatan, dan ahlaknya, baik dalam niat, ucapan maupun perbuatan.

Imam Al - Ghazali menghimpun  akidah, syariat dan akhlak dalam suatu sistematika yang kuat dan amat berbobot, karena itu teori - teori tashawwufnya  lahir dari kajian dan pengalaman pribadi setelah melaksanakan suluk dalam riyadhah dan mujahadah yang intensif dan berkesinambungan, dalam pandangannya, Ilmu Tasawuf mengandung 2 bagian penting, pertama menyangkut ilmu mu'amalah dan bagian kedua menyangkut  ilmu mukasyafah, menurutnya, perjalanan tashawwuf hakekatnya adalah pembersihan diri dan pembeningan hati terus menerus sehingga mampu mencapai musyahadah, ia menekankan pentingnya pelatihan jiwa, penempatan moral atau akhlak yang terpuji baik disisi manusia maupun Tuhan (Ajaran tashawwuf psikomoral) yang mengutamakan pendidikan moral, dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti ; Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. 

Satu hal mencolok yang dilakukan Imam Al-Ghazali pada tasawuf adalah upayanya dalam mengalihkan tema-tema Dzauq (rasa), Tahliq (terbang), Syathahat, dan Tahwil menjadi nilai-nilai yang praktis. Ia mengobati hati dan bahaya jiwa, lalu mensucikannya dengan akhlaq yang mulia. Upaya ini nampak jelas terlihat dalam kitab Al-Ihya’-nya. Ia bebicara tentang akhlaq yang mencelakakan(al-Muhlikat) dan akhlaq yang menyelamatkan (al-Munjiyat). Al-Muhlikat adalah setiap akhlaq yang tercela (madzmum) yang dilarang al-Qur’an. Jiwa harus dibersihkan dari akhlaq yang tercela ini. Al-Munjiyat adalah akhlaq yang terpuji (mahmud), sifat yang disukai dan sifatnya orang-orang muqarrabin dan shiddiqin, dan menjadi alat bagi hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam. [37]

Ketika beragam kecenderungan berfikir, baik yang bernuansa agama maupun rasio, berbenturan dan beradu argumentasi, Imam Al-Ghazali merasakan dirinya berhadapan dengan samudera luas, dengan gulungan ombak yang sangat dahsyat dan dalam, ia tidak memposisikan dirinya sebagai “penggembira” yang hanya ikut-ikutan dalam gelombang dahsyat itu, ia tidak merasa takut terhadap luasnya samudera, kedalaman dasar samudera dan besarnya gelombang.[38]   Al-Ghazali merasakan dirinya di antara mazhab yang terpecah belah, kelompok-kelompok perusak, filsafat asing dan bid’ah-bid’ah pemikiran, sebagaimana tergambar dalam bait kata-katanya yang begitu menggugah hati dengan gemuruh semangat dan keberanian ; ketika masih muda, aku menyelami samudera yang dalam ini. Aku menyelaminya sebagai penyelam handal dan pemberani, bukan sebagai penyelam penakut dan pengecut. Aku menyerang setiap kegelapan dan mengatasi semua masalah, menyelami kegoncangan. Aku teliti aqidah setiap kelompok dan menyingkap rahasia cara pikir setiap golongan, agar aku bisa membedakan antara kelompok yang memperjuangkan kebenaran dan kelompok yang memperjuangkan kebathilan, agar bisa membedakan antara pengikut sunnah dan pencipta bid’ah”.

Imam Al-Ghazali berupaya membersihkan tasawuf dari ajaran-ajaran asing yang merasukinya, agar tasawuf berjalan di atas koridor Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia menilai negatif terhadap syathahat dan sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud) sebagaimana yang di propagandakan oleh al-Hallaj dan lainnya., untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya, ia menjauhkan semua kecenderungan genotis yang mempengaruhi para filosuf Islam, sekte Isma'iliyah, aliran Syi’ah, Ikhwan al-Shofa, paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan.
C.    Pandangan  Imam Al-Ghazali Tentang Syari’at

Imam Al-Ghazali teguh memegangi syari’at, Tashawwuf   dilakukan dengan memegang teguh dan mengamalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga dalam perilaku dan ucapannya,  ia mengatakan ; seorang arif sejati mengatakan, “jika kamu melihat seorang manusia mampu terbang di awang-awang dan mampu berjalan di atas air, tetapi ia melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syari’at, maka ketahuilah dia itu setan.” [39] Dan secara terus terang ia menyatakan ; seseorang yang telah mendapatkan penyingkapan (kasyf) dan penyaksian (musyahadah) tidak layak mengeluarkan suatu ucapan yang bertentangan dengan aqidah Islam, yakni aqidah tauhid murni yang membedakan mana Tuhan dan mana hamba, serta menegaskan bahwa Tuhan adalah Tuhan dan hamba adalah hamba. Itulah aqidah yang dipegang teguh Al-Ghazali.[40] Lebih jauh, Al-Ghazali menyatakan ; bahwa kebersatuan dengan Tuhan (ittihad) secara rasional tidak mungkin terjadi.

Dari susunan Ihya’ ‘Ulum al-Dien tergambar  pokok pikiran Al-Ghazali mengenai hubungan syariat dan hakekat atau tasawuf ; Sebelum mempelajari dan mengamalkan tasawuf orang harus memperdalam ilmu tentang syari’at dan aqidah telebih dahulu. Tidak hanya itu, dia harus konsekuwen menjalankan syari’at dengan tekun dan sempurna. Sesudah menjalankan syari’at dengan tertib dan penuh pengertian, baru dimulai mempelajari tarekat. Yaitu tentang mawas diri, pengendalian nafsu-nafsu, dan menjalankan dzikir, hingga akhirnya berhasil mencapai ilmu kasyfi atau penghayatan ma’rifat.

Salah satu tuduhan yang kerap dialamatkan kepada tasawuf adalah bahwa tasawuf mengabaikan atau tidak mementingkan syari’at. Tuduhan ini berlaku hanya bagi kasus-kasus tertntu yang biasanya terdapat dalam tasawuf tipe “Keadaan Mabuk”(sur, intoxication), yang dapat membedakan dari tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk”(sahw, sobiety). Para sufi “yang mabuk” merasakan keintiman denga Tuhan dan sangat yaqin pada kasih sayangNya, sedangkan para sufi “yang-tidak-mabuk” dikuasai rasa takut dan hormat kepada Tuhan dan tetap khawatir terhadap kemurkaanNya. Yang pertama cenderung kurang mementingkan syari’at dan menyatakan terang-terangan persatuan denagan Tuhan, sedangkan yang kedua memelihara kesopanan (adab) terhadap Tuhan, sangat menekankan pentingnya syari’at. tasawuf tidak dapat dipisahkan dengan syri’at, karena syri’at adalah jalan awal yang harus ditempuh untuk menuju tasawuf.

Dalam Al-Futuhat Al-Makkiyah, Ibn Al-‘Arabi menyatakan ; “jika engkau betanya apa itu tasawuf ?  Maka kami menjawab, tasawuf adalah mengikatkan diri kepada kelakuan-kelakuan baik menurut  syri’at secara lahir dan batin dan itu adalah akhlaq mulia. Ungkapan-ungkapan kelakuan baik menurut syari’at dalam perkataan Ibn al-‘Arabi ini menunjukkan bahwa tasawuf harus berpedoman pada syari’at. Menurut sufi ini, syari’at adalah timbangan dan pemimpin yang harus di ikuti dan diikuti oleh siapa saja yang menginginkan keberhasialan tasawuf.

Sebagaimana Ibn al’Arabi, Hussen Naser, seorang pemikir dari Iran berulangkali menekankan ; bahwa tidak ada tasawwuf tanpa syari’at. Islam sebagai agama sangat menekankan keseimbangan memanifestasikan dirinya dalam kesatuan syari’at (hukum Tuhan) dan tharikat (jalan spiritual), yang sering disebut sufisme atau tasawuf. Apabila syari’at adalah dimensi eksoteris Islam, yang lebih banyak berurusan aspek lahiriyah, maka tharikat adalah dimensi esoteric Islam, yang lebih banyak berurusan dengan aspek bathiniyah. Pentingnya menjaga kesatuan syari’at dan tharikat dituntut oleh kenyataan bahwa segala sesuatu di alam ini, termasuk manusia, mempunyai aspek lahiraiyah dan bathiniyah. Ajaran-ajaran Islam dinamakan Syari’at Islam, yang mencakup segenap peraturan-peraturan Allah, yang dibawa/disampaikan oleh Nabi Muhammad, untuk seluruh manusia, dalam mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan menusia sesamanya dan hubungannya dengan makhluk lain. Dan peraturan itu berfaedah untuk mensucikan jiwa manusia dan menghiasinya dengan sifat-sifat yang utama. Inilah pengertian syari’at yang biasa dipakai oleh para Ulama’ Salaf. [41]

Tasawuf adalah satu cabang dari Syari’at Islam, seperti halnya dengan Tauhid (aqidah) dan fiqih yang merupakan cabang dari Syari’at Islam. Seperti di dalam hadist yang diriwayatkan dari Umar ra, yang mengisayaratkan tiga unsure dasar syari’at Islam tentang ; Islam, Iman dan Ihsan.[42]

Ihsan termasuk amal hati dalam hubungan dengan ma’bud (Tuhan). Ini tidak dipelajari dalam ilmu kalam dan fiqh, tetapi dalam Tasawuf. Adapun yang berkenaan dengan amal lahir seperti shalat, puasa, zakat dan haji, itulah yang dipelajari dalam ilmu fiqh, yang menyangkut soal aqidah dipelajari di dalam ilmu Kalam.[43]

Selain dari Ihsan, tasawuf juga membahas tentang hubungan manusia dengan sesamanya yang disebut akhlaq, seperti halnya dengan fiqh, selain membahas tentang rukun Islam juga membahas tentang muamalat maliah, jinayat, munahkat dan qoda’, karena persoalan ini erat hubungannya dengan masalah pokok yang disebutkan Nabi di atas (Islam, Iman, Ihsan), contoh ; tentang penyakit dengki (hasad).

Dengki menurut hadist Rasul dapat memakan amal seperti api memakan kayu bakar. Dari hadist ini (tentang Islam, Iman, Ihsan) dapat dipahamkan bahwa dengki yang merusak hubungan dengan sesama manusia juga dapat merusak hubungan dengan Tuhan. Karena itu masalah akhlaq yang tercela dan akhlaq yang terpuji yang tumbuh di dalam hati dapat dipelajari dalam ilmu Tasawuf. Dengan  ini jelas, betapa kedudukan Tasawuf dengan rangkaian syari’at Islam.[44]

Tasawuf Islam tidak akan ada kalau tidak ada Tauhid. Tegasnya tiada guna pembersihan hati kalau tidak beriman. Tasawuf Islam sebenarnya adalah hasil dari aqidah yang murni dan kuat yang seseuai dengan kehendak Allah dan RasulNya.[45]

Sungguh sudah banyak penganut Tasawuf yang tergelincir di bidang ini. Banyak para Shufi yang telah mengaku dirinya Tuhan atau manifestasi Tuhan. Ada pula yang mengaku bahwa para Nabi lebih rendah derajatnya dari para wali. Ada yang mengi’tikadkan bahwa ibadat-ibadat yang kita kerjakan tidak sampai kepada Tuhan kalau tidak dengan merabithahkan guru lebih dahulu. Dan bayak macam-macam I’tiqad yang sesat yang bersumber dari akal filsafat pemikiran manusia. Oleh sebab itu untuk mendalami tasawuf Islam terlebih dahulu harus dimatangkan pengertian Tauhid Islam. Amal Tasawuf akan rusak binasa kalau tidak didahului oleh pengertian tentang Tauhid. Demikianlah hubungan antara ilmlu Tasawuf dengan ilmu Tauhid (syari’at). Tasawuf tidak aka nada kalau tidak ada Tauhid dan Tauhid tidak akan tumbuh subur dan berbuah lebat kalau tidak ada Tasawuf.[46]

Kemudian soal pendalaman perasaan agama dan pemantapan iman, Imam Al-Ghazali melihat bahwa tasawuf adalah sarana yang hebat untuk untuk mendukung bagi pendalaman rasa agama (spiritualitas Islam) dan untuk memantapkan dan menghidupkan iman. Dengan ilmu kalam orang baru bisa mengerti tentang pokok-pokok keimanan, namun tidak bisa menanamkan keyakinan yang mantap dan menghidupkan pengalaman agama. Oleh karena itulah tasawuflah sarana yang paling hebat untuk mengobati penyakit formalism dan kekeringan rasa keagamaan ini menurut Al-Ghazali.[47]

Yang menjadi masalah kemudian, bagaimana cara mengawinkan dan mengkompromikan tasawuf dengan syari’at itu? Atau dengan kata lain bagaimana mengkompromikan syari’at dan hakikat sehingga keduanya tidak saling menggusur, akan tetapi justru saling mendukung.? Kebutuhan ini wajar, karena para sufi sendiri mengembangkan ajaran mereka adalah untuk menyemarakkan kehidupan agama, dan bukan untuk merusaknya. Namun bagaimana caranya, itu yang belum bisa di kemukakan oleh para ulama’ sufi.

Imam al-Qusyairi (w, 1074M.) dalam risalahnya merumuskan harapan ; Syari’at itu perintah untuk melaksanakan ibadah, sedang hakikat menghayati kebesaran Tuhan (dalam ibadah). Maka setiap syari’at yang tidak diperkuat dengan hakikat tidak diterima; dan setiap hakikat yang tidak terkait dengan syari’at, pasti tak menghasilkan apa-apa. Syari’at datang dengan kewajiban pada hamba, dan hakikat memberikan ketentuan Tuhan. Syari’at memerintahkan mengibadahi pada Dia. Syari’at melakuakan yang diperintahkan Dia, hakikat menyaksikan ketentuanNya, kadarNya, baik yang tersembunyi ataupun yang tampak diluar[48]
Walaupun cita-cita untuk menjalin keselarasan pengamalan tashwwuf dengan syari’at telah di cetuskan dan menjadi keprihatinan ulama’-ulama’ sufi sebelumnya, namun baru Imam Al-Ghazali yang secara konkrit berhasil merumuskan bangunan ajarannya. Konsep yang mengkompromikan dan menjalin secara ketat antara pengalaman sufisme dengan syari’at dalam karya yang paling monumental Ihya’ Ulumu ad-Din.[49]

D.    Pandangan Imam Al-Ghazali Tentang Ma’rifat.

Menurut Imam Al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada, alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir-qolb dan roh. Saat sir, qalb dan roh yang telah suci dan kosong itu dilimpahi cahaya Tuhan dan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, kelak keduanya akan mengalami iluminasi (kasyf) dari Allah dengan menurunkan cahayanya kepada sang sufi hingga yang dilihatnya hanya Allah, di sini sampailah ia ke tingkat ma’rifat.

Menurut Al-Ghazali proses mengenal Allah tidak dapat hanya dengan menggunakan akal sebagaimana yang diyakini oleh para kaum filsafat, bahwa pengenalan Allah dengan dhauq atau perantara intuitif (batini) akan lebih dapat memberikan keyakinan dan ketenangan spiritual daripada hanya sebatas bersandar dengan akal.[50] Untuk sampai pada mahabbah dan ma’rifat yang sempurna kepada Tuhan tentunya seorang sufi terlebih dahulu harus melewati berbagi maqom dan melewati batas fana’.

Fana’ merupakan satu istilah yang menggambarkan seorang sufi yang telah melakukan proses takhalli dan tahalli. Orang yang mencintai Tuhan akan berusaha bertakhalli (membersihkan diri dan jiwa dari segala macam sifat yang dibenci Tuhan). Begitu juga sebaliknya setelah seorang sufi melakukan tahkalli (pembersihan) maka ia akan mengisi hidupnya dengan sifat-sifat yang dicintai oleh Tuhan atau bertahalli.[51]

Ma’rifat merupakan bagian dari finalitas maqomat seorang sufi. Setelah seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari taubah, wira’i, zuhud, faqru, sabar, tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada satu tsamroh atau hasil dari perjalanan kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang dalam kitab Ihya’ U’lum al-Din di namakan dengan mahabatullah.

Keterikatan antara ‘mahabbah’ dan makrifat dalam pemikiran sufisme amat erat seolah sepasang kembar yang tak dapat dipisahkan baik subtansi maupun sifat-sifatnya. Dari makrifat lahir mahabbah, cinta. Tiada pengenalan yang tidak melahirkan cinta. Ini berlaku dalam setiap taraf spritual.

Proses ma’rifat (pengenalan) seseorang kepada Tuhannya untuk mencapai mahabbah berbeda-beda. Imam Al-Ghazali membagi kelompok orang-orang yang sampai pada tingkat ma’rifat dan mahabbah kepada dua tingkatan yaitu :[52]
-          Pertama, tingkatan seseorang yang kuat dalam ma’rifat. Dia adalah seseorang yang menjadikan Tuhan sebagai awal ma’rifatnya dan kemudian dengan ma’rifat itu ia mengenal segala sesuatu yang selain Tuhan.
-          Kedua, tingkatan seseorang yang lemah ma’rifatnya. Yaitu seseorang yang bermula dengan mengenal ciptaan Tuhan kemudian dengan ma’rifatnya ia mengenal Tuhan.
Finalitas dari sebuah mahabbah dan ma’rifat yang sempurna adalah terbukanya hijab dan terjadinya tajalli atau penampakan Tuhan pada makhluknya. Seorang yang telah sampai pada maqom ini akan merasa hidupnya terpenuhi oleh cahaya Tuhan, bahkan terkadang saat berada dalam kondisi sakran (mabuk) seseorang akan mengeluarkan ucapan-ucapan teopatis atau dalam istilah tasawuf syatotoh.

Yang menarik dari konsep ma’rifat Imam Al-Ghazali adalah penolakannya pada konsep-konsep tokoh sufi sebelumnya, seperti ; Abu Yazid dengan konsep ittihad, al-Hallaj dengan konsep hulul, ibn Arabi dengan konsep wahdah al-wujud. Menurut Imam Al-Ghazali paham tersebut berkecenderungan ke arah ketuhanan yang bercorak panteistis-imanenis yang menggambarkan Tuhan sebagai Dzat yang imanen dalam diri manusia, yang mana ia melihat itu semua sebagai paham yang akan merusak konsep tauhid yang menjadi ciri khas dogma teologi dalam Islam. Dalam bukunya, al-Munqidz, ia melihat rumusan mengenai kedua konsepsi ini sebagai khayalan semata. Katanya, “… sampailah ia ke derajat yang begitu dekat dengan-Nya sehingga ada orang yang mengiranya sebagai hulul, ittihad atau wushul. Semua persepsi itu adalah salah belaka. … barang siapa mengalaminya, hendaklah hanya mengatakan bahwa itu suatu hal yang tak dapat diterangkan, indah, baik, utama, dan jangan lagi bertanya.”[53]

Dengan batasan ini bisa dilihat, al-Ghazali mempertahankan keyakinan mengenai Tuhan sebagai Dzat yang transenden. Artinya Tuhan adalah Dzat yang mengatasi dan berbeda dengan manusia : Ada perbedaan mendasar antara Tuhan dan makhluk (manusia) secara jelas dalam pandangan al-Ghazali. Akan tetapi penolakan Imam Al-Ghazali terhadap hulul dan ittihad di atas tidak otomatis merupakan penolakannya pada pengalaman orang-orang yang telah mencapai maqom ma’rifat. Bagi al-Ghazali, pengalaman itu benar adanya. Kaum `arifun, setelah pendakiannya ke langit hakekat, sepakat bahwa mereka tak lagi melihat dalam wujud ini kecuali Tuhan.

Ucapan al-Hallaj ana al-Haq, dan ucapan-ucapan tokoh sufi lainnya yang dianggap aneh dan menyesatkan sebenarnya hanyalah merupakan kata-kata teopatis atau syafahat. Ia merupakan ucapan yang terlepas di bawah kontrol kesadaran seseorang saat berada dalam keadaan mabuk (sakran) akan cinta Tuhan. Ucapan-ucapan itulah yang selanjutnya disebut sebagai ajaran ittihad, hulul dan wihdatul wujud. Menurut dia, ilmu sejati atau ma’rifat sebenarnya adalah mengenal Tuhan. Mengenal Hadrat Rububiyah. Wujud Tuhan meliputi segala Wujud. Tidak ada yang wujud, melainkan Tuhan dan perbuatan Tuhan. Tuhan dan perbuatannya adalah dua, bukan satu. Itulah koreksi Imam Al-Ghazali atas pendirian al-Hallaj dan ulama sufi lainnya. Wujudnya ialah kesatuan semesta (wihdatul wujud). Alam keseluruhan ini adalah makhluk dan ayat (bukti) tentang kekuasaan dan kebesaran-Nya. Sedangkan penglihatan akan Tuhan melalui alam dan makhlukNya adalah sebatas tajalli atau penampakan akan keberadaan Tuhan bukan berarti Tuhan menyatu dengan alam apalagi mengalami persatuan ke dalam tubuh manusia.

E.     Pujian Dan Kritikan Terhadap Thasawwuf Imam Al-Ghazali

Pengaruh pemikiran al-Ghazālī dalam dunia Islam amat mendalam dan luas sekali. Hasil karyanya dibaca dan dikaji di Timur dan Barat serta oleh kalangan bangsa Arab atau bukan Arab, bahkan pengkaji-pengkaji bukan Islam turut meneliti hasil karyanya dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia.  

Beberapa pujian oleh para peminat atau pencinta jasa Imam Al-Ghazālī ;
-          Pernyataan al-Yafi’i: “Kalau wujud nabi selepas Nabi Muhamad pasti orang itu ialah al-Ghazālī.”
-          ImamNawawi pula pernah berkata: “Hampir-hampir Kitab Ihyā mengambil tempat al-Qur’an.”
-          Kata al-Subky: “Tidak tahu ada orang selepas al-Ghazāli yang sama sepertinya terutama dari segi kadar memiliki ilmu. Pasti tidak ada orang yang akan datang sepertinya.” [54]
Banyak  tokoh-tokoh yg terlibat dalam penyebaran dan perkembanga agama Islam di seluruh dunia, termasuk tokoh-tokoh pada zaman Rasulullah. Antara nama-nama besar yang memberi sumbangan kepada dunia Islam ialah Imam As-Syafi’e, Imam Malik, termasuk  Imam Al-Ghazali dengan karya beliau yg paling terkenal dan jadi rujukan di seluruh dunia yaitu Ihya Ulum Al-Din. Imam Al-Ghazali banyak memberi sumbangan pada dunia Islam sehingga digelar Hujjatul Islam (pembela Islam) [55]

Imam Al-Ghazali adalah nama yang tidak asing lagi di telinga kaum muslimin. Beliau merupakan seorang teologi Islam, ahli hukum, ahli falsafah dan sufi termasyur, juga merupakan salah seorang sarjana yang paling terkenal dalam sejarah pemikir Islam Sunni. Ia memiliki pengaruh dan pemikiran yang tersebar ke seluruh dunia Islam melalui karya-karyanya meliputi ilmu pengetahuan seperti ilmu kalam (teologi Islam), fikah (hukum Islam), tasawauf, falsafah, akhlak dan autobiografi. Dia dipandang paling berjasa dalam mendamaikan tasawuf dan syariat sehingga tasawuf dapat diterima oleh sebahagian besar umat Islam. Beliau juga berjasa mengembangkan dan menyebarkan aliran Asy’ariyah yg dianuti oleh majority Ahli Sunnah Wal Jamaah.[56]

Di kalangan ahli-ahli falsafah, pengkritik al-Ghazālī yang termasyhur ialah Ibnū Rusyd, ia menolak perbahasan-perbahasan al-Ghazālī terhadap ahli-ahli falsafah. Contoh kritikan dalam penulisannya ialah Tahāfut al-Tahāfut bagi menjawab tulisan al-Ghazālī dalam kitab Tahāfut al-Falāsifah.[57] Ibnū Rusyd mempertahankan ahli-ahli falsafah dengan hujah yang keras sebagaimana serangan al-Ghazālī terhadap mereka. Ibnū Rusyd berhujah dengan penuh kefahaman dan kehandalan tetapi dalam analisis terakhir ternyata hujah-hujah al-Ghazālī lebih berkesan daripada penentangnya. Sanggahan Ibnū Rusyd menyatakan bahawa al-Ghazālī menentang ahli falsafah semata-mata untuk mendapat penghargaan daripada golongan tradisional tidak dapat dibuktikan. Beliau juga menuduh al-Ghazālī tidak tetap dalam pemikirannya. Contoh, beliau menyebut bahawa dalam kitab Misykātul al-Anwār, al-Ghazālī memberi sokongan kepada teori emanasi yang sudah dikritik dalam Tahafut. Menurut beliau lagi, ajaran-ajaran al-Ghazālī mendatangkan bahaya kepada agama dan falsafah. Ibnū Rusyd menyatakan mengenai pemikiran al-Ghazālī : “Satu hari kamu berbangsaYaman apabila bertemu dengan orang Yaman. Tetapi apabila kamu bertemu seseorang dari Ma’ad , kamu mendakwa kamu dari ‘Adnan!”

Tuduhan tidak konsisten terhadap al-Ghazālī juga dibuat oleh ahli falsafah Islam lain seperti Ibnū Tufail menyebut dalam karyanya bahawa al- Ghazālī: “terikat di satu tempat tetapi bebas di tempat lain. Ia menafikan beberapa perkara tetapi kemudian mengisytiharkannya benar.” Sungguhpun beliau menunjukkan beberapa kontradiksi dalam karya al-Ghazālī tetapi keseluruhannya Ibnū Tufail mengagumi ajaran al-Ghazālī yang dapat dikesan dalam karya Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn.

Ibnū Taymiyah berpendapat bahawa Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn karangan al-Ghazālī secara amnya adalah sebuah kitab yang ditulis dengan baik dan menggunakan gaya yang menarik. Pada masa yang sama, Ibnū Taymīyah memberi kritikan kerana empat sebab:[58]
-          Pertama, pemikiran al-Ghazālī jelas menunjukkan peninggalan falsafah Yunani. Dalam menjelaskan ketauhidan Allah, kenabian dan hari akhirat, beliau memperkenalkan banyak konsep yang dipegang oleh ahli-ahli falsafah pada masa itu. DalamMuwāfaqāt, beliaumenyatakan komentar Abū Bakar bin al-‘Arabī iaitu sahabat dan pelajarnya bahawa al-Ghazālī telah mendalami ilmu falsafah dan mahu menolak pemikiran itu tetapi sukar. Oleh sebab itu, Ibnū Taymīyah menentang falsafah. Beliau mendapati setengah penulisan al-Ghazālī tidak dapat diterima daripada sudut keagamaan.
-          Kedua, dalampenulisan Ihyā ‘Ulūm al-Dīn al-Ghazālīmenggunakan analisis logik yang dibuat berdasarkan premis umum dan khusus dengan tujuan mendapatkan kesimpulan kerana ini tidak bertepatan dengan semangat al-Qur’an dan Sunnah.
-          Ketiga, kitab Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīnmempunyai banyak konsep dan ajaran ahliahli turūq suffīyah dan pertanyaan-pertanyaan mereka mengenai pendapat kasyāf ke dalam kebenaran ilahi.
-          Keempat, Kitab Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn mengandungi banyak hadist yang diragui kesahihannya.

Ibnū Jawzī juga telah menunjukkan kesilapan-kesilapan mengenai beberapa peristiwa sejarah yang disebut oleh al-Ghazālī dalam Ihyā’. Ibnū Jawzi mengatakan bahwa al-Ghazālī telah menyebut beberapa contoh ahli sufi atau cara-cara mereka untuk muraqabah dan pembersihan jiwa (tazkīyah al-nafs) yang tidak dibolehkan dalam syariat, apalagi untuk diikuti orang awam. Walau bagaimanapun Ibn Jawzi mengakui keberkesanan Ihyā’ dan sumbangannya amat berharga kepada pemikiran Islam selepas itu. Beliau juga telah meringkaskan Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn di dalam kitab Minhāaj al-Qāsididīndan meninggal bahagian-bahagian yang boleh diperbahaskan.

F.     Nasehat Tasawuf Imam Al-Ghazali

Penulis merasa penting untuk memasukan nasehat Imam Al-Ghazali kepada muridnya ini dengan tujuan semakin memperjelas pemahaman atas kerangka pemikirannya mengenai tashawwuf, yakni berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasullulah.

Bahwa suatu hari, Imam al-Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam beliau bertanya bebeapa hal.[59]
Pertama, “Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?. ”
Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman, dan kerabatnya. Imam al-Ghazali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah “Mati”. Sebab itu sudah janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (QS. Ali Imran 185)
Lalu Imam al-Ghazali meneruskan pertanyaan yang kedua. “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?”.
Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar, ujarnya, adalah “MASA LALU.”
Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.
Lalu Imam al-Ghazali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga. “Apa yang paling besar di dunia ini?”.
Murid-muridnya ada yang menjawab gunung, bumi, dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah “Nafsu” (QS. Al- a’araf: 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.
Pertanyaan keempat adalah, “Apa yang paling berat di dunia ini?”.
Ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban sampean benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah “memegang AMANAH” (QS. Al Ahzab 72). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak bisa memegang amanahnya.
Pertanyaan yang kelima adalah, “Apa yang paling ringan di dunia ini ?”.
Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam al-Ghazali. Namun menurut beliau yang paling ringan di dunia ini adalah ‘meninggalkan SHALAT’. Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan shalat, gara-gara meeting kita juga tinggalkan shalat.
Lantas pertanyaan keenam adalah, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?”.
Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang. Benar kata Imam al-Ghazali. Tapi yang paling tajam adalah “lidah MANUSIA”. Karena melalui lidah, manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.  


BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Tashawwuf adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang jalan atau cara yang ditempuh dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jalan atau cara yang dimaksud dengan melalui pembersihan rohani, peningkatan amal saleh, berakhlak mulia dan tekun melakukan ibadah menurut contoh Rasulullah SAW disertai dengan melakukan zuhud, berkhalwat dan kontemplasi (merenung dan berpikir dng sepenuh perhatian). Dari segi bahasa Tashawwuf   adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebahagiaan dan selalu bersikap bijaksana, sikap jiwa yang demikian pada hakikatnya adalah ahlak mulia.

Imam Al-Ghazali menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah Rasullulah sebagai pegangan utama dan atau titik tolak manusia dalam menjalani hidup, baik untuk kepentingan lahiriah maupun bathiniah, semata untuk mendapat keridhaan Allah, untuk mencapainy itu semua manusia perlu memiliki ilmu, baik ilmu syariat maupun ilmu tashawwuf, keduanya tidak bisa dipisahkan, orang hanya akan berhasil mencapai tingkat ma’rifatullah (mengenal Allah) setelah menjalani syariat secara benar, dan mengenal Allah bukan berarti menyatu dengan Allah, sebab tidak mungkin itu terjadi. Bahwa pencapaian ketingkat ma’rifat bukanlah suatu hal yang dapat dipelajari dengan akal semata seperti pendapat para ahli filsafat terdahulu, bahwa keberhasilan dalam pencapaian ma’rifat akan tercermin pada ahklak manusia.

B.     Saran-Saran

Tashawwuf adalah sarana untuk mendukung pendalaman rasa agama (spiritualitas) dan memantapkan dan menghidupkan iman. Dengan ilmu kalam orang baru bisa mengerti tentang pokok-pokok keimanan, namun tidak bisa menanamkan keyakinan yang mantap dan menghidupkan pengalaman agama, oleh karena itu  adalah penting untuk mempelajari , memahami dan mengamalkan tasawwuf, sebab ibadah akan tidak ada artinya kalau kita tidak mengenal untuk siapa dan atau kepada siapa kita beribadah.
DAFTAR PUSTAKA

1.      Arifin, Shohibulwafa, K.H.A. 1975. “Miftahus Shudur”. Diterjemahkan oleh Prof. K.H. Aboebakar Atjeh menjadi “Kunci Pembuka Dada”. Jilid 1 dan 2. Tasikmalaya, Jawa barat: Yayasan Serba Bakhti Suryalaya.
2.      Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an Departemen Agama RI. (1974). “Al-Qur’an dan Terjemahnya” , Jakarta: Depag RI.
3.      Ihya’ U’lum al-Din, Imam Abu Hamid AlGozali.
4.      Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf AlGozali, Prof Dr Amin Syukur, MA dan Drs Masyharuddin, MA.
5.      Al-Hayat al-Ruhiyah fi al-Islam, Dr. Muhammad Musthafa Hilmi.
6.      Inti Tasawuf, Dr. Muhammad Nurshomad
7.      ceh, Abu  Bakar, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo, Ramadhani,1984.
8.      Sufi dari Zaman ke Zaman, terj.Ahmad Rofi Utsman, Bandung, Pustaka, 1997.
9.      Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993
10.  Hasan, Abd-Hakim, al-Tasawuf fi Syi’r al-Arabi,Mesir,al-Anjalu al-Misriyyah,1954
11.  Munawir,Ahmad warson, al-Munawwir : Kamus Arab – Indonesia, PP. al-Munawwir,Yogyakarta, 1984
12.  Nasution, Harun, Prof. Dr., Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang,1995
13.  Syukur, Amin,Prof. Dr., Menggugat Tasawuf,Yogyakarta,Pustaka Pelajar, 2002


---mmm---




[1]Pengertian Ma’rifatullah, http://titianilahi.wordpress.com/2009/10/19/pengertian-marifatullah/

[2] SUMBER; KM. Murdani, S.Th.I & Ismail SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWWUF, 3 Januari 2010hkhusus.wordpress.com/2010/01/03/sejarah-perkembangan-tasawwuf/
[3] Ibid.
[4] Pengakuan ulama besar fiqh tentang tasawwuf dan ulama sufi, Mei 17, 2007 pada 6:35 am (Agama, Ilmu),  http://barrynuqoba.wordpress.com/2007/05/17/pengakuan-ulama-besar-fiqh-tentang-tasawwuf-dan-ulama-sufi/
[5] SUMBER; KM. Murdani, S.Th.I & Ismail SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWWUF, 3 Januari 2010hkhusus.wordpress.com/2010/01/03/sejarah-perkembangan-tasawwuf/
[6] Pengakuan ulama besar fiqh tentang tasawwuf dan ulama sufi, Mei 17, 2007 pada 6:35 am (Agama, Ilmu),  http://barrynuqoba.wordpress.com/2007/05/17/pengakuan-ulama-besar-fiqh-tentang-tasawwuf-dan-ulama-sufi/
[7]  http://ahlujannah.blogspot.com/2011/03/pengertian-tasawuf-tasawwuf-menurut.html
[8] Harun Nasution.Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam.(Jakarta Bulan Bintang.1995),57-58.
[9] JALAN MENUJU ALLAH, KONSEP TASAWUF, (Abas Gozali),
http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/jalan-menuju-allah-konsep-tasawuf/
[10]JALAN MENUJU ALLAH, KONSEP TASAWUF, (Abas Gozali),
http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/jalan-menuju-allah-konsep-tasawuf/
[11] Ibid.
[12] ibid
[13] ibid
[14] JALAN MENUJU ALLAH, KONSEP TASAWUF, (Abas Gozali),
http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/jalan-menuju-allah-konsep-tasawuf/

[15] JALAN MENUJU ALLAH, KONSEP TASAWUF, (Abas Gozali),
http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/jalan-menuju-allah-konsep-tasawuf/
[16] http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/jalan-menuju-allah-konsep-tasawuf/
[17] Ibid.
[18] Ahmad Mustofa, Akhlak tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2007) hal. 208
[19] Tasawuf adalah Ajaran Rasulullah SAW dan Para Sahabat, Posted on by SufiMuda,http://sufimuda.net/2012/03/16/tasawuf-adalah-ajaran-rasulullah-saw-dan-para-sahabat/


[20] Sumber ; KHALIFAH ABUBAKAR ASSIDDIQ, oleh Ustaz Syed Hasan Alatas, http://www.shiar-islam.com/doc64.htm

[21] AhmadWarson Munawir, Al-Munawir:Kamus Arab–Indonesia,PP.Al-Munawiwir,Yogyakarta,1984,hlm. 626.
[22] Ibid.
[23] Abd. Hakim Hasan, al-Tasawuf Fi Syi’r al-Arabi, (Mesir : al-Anjalu al-Misriyyah), 1954, hlm. 42. Lihat juga Prof. D. Amin Syuku MA, Zuhud…, op.cit, hlm. 2
[24] Ibid., hlm. 3
[25] Dr. Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung : Pustaka), 1977, hlm. 54
[26] Lihat al-Taftazani, Sufi …, op.cit., hlm. 55
[27] Lihat Harun Nasution,falsafat …,op.cit., hlm. 62-63
[28] Dr. Abu al-wafa al-Ghanimi al-Taftazani,Sufi…,op.cit.,hlm. 56-57
[29] hlm. 58-59; lihat juga Prof.Dr. Amin Syukur MA,Zuhud…,op.cit.,hlm. 4-5; Bandingkan dengan Reynold A. Nicholson, Mistik Dalam Islam, (Jakarta : Bumi Aksara),1998,hlm. 8-21
[30] Dewan Redaksi EndiklopediIslam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta.PT.Ichtiar Baru Van Joeve), 1993, hlm.80- 81
[31] Abu BakarAceh,Pengantar Sejarah Sufi dan tasawuf, (Solo : Ramadlani), 1984,hlm.57

[32] Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34.
[33] Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Hal. 96
[34] Ibid 97
[35] Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Hal. 96
[36] al-Munqidh min ad-dalal, p. 13.http://barrynuqoba.wordpress.com/2007/05/17/pengakuan-ulama-besar-fiqh-tentang-tasawwuf-dan-ulama-sufi/
[37]Ibid. hal, 236
[38] Sumber : Tasawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Dr. Abdul Fattah Sayyid Ahmad. Khalifah Jakarta.

[39] Ta Tasawuf antara Agama dan Filsafat. Dr. Ibrahim Hilal. Pustaka Hidayah Bandung. Cet. I. hal. 89. Th. 2002sawuf antara Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah. Hal 234
[40] Tasawuf antara Agama dan Filsafat. Dr. Ibrahim Hilal. Pustaka Hidayah Bandung. Cet. I. hal. 89. Th. 2002
[41] Pengantar Ilmu Tasawuf. Drs. Yunasril Ali. Pedoman Ilmu Jaya. Jakarta. Cet. I. hal. 29. Th 1987 M
[42]Pengantar Ilmu Tasawuf. Drs. Yunasril Ali. Pedoman Ilmu Jaya. Jakarta. Cet. I. hal. 29. Th 1987 M
[43] Ibid. hal. 33.
[44] Drs. Yunasril Ali. Hal. 34
[45] Ibid 54
[46]Pengantar Ilmu Tasawuf. Drs. Yunasril Ali. Pedoman Ilmu Jaya. Jakarta. Cet. I. hal. 29. Th 1987 M,hal. 36.
[47] Ibid. hal 158
[48] Ibid. 160.
[49]Pengantar Ilmu Tasawuf. Drs. Yunasril Ali. Pedoman Ilmu Jaya. Jakarta. Cet. I. hal. 29. Th 1987 M,hal. 162.
[50] Ihya’ U’lum al-Din, Abu Hamid al- Ghazali.
[51] Ihya’ U’lum al-Din, Abu Hamid al- Ghazali.jilid 4 Hal 235
[52] Tasawuf, Harun Nasution. Makalah Paramadina hal 4
[53] Inti Tasawuf, Dr. Muhammad Nurshomad

[54] Ahmad al-Syarbasi, Al-Ghazālī wa Tasawuf al-Islāmy. Darul Hilal, hlm.124
[55] Abd Aziz bin Harji, Kelahiran Imam Al-Ghazali dan Sumbangannya kepada Tamadun Islam, abstrak, http://az-esei- jan2010.blogspot.com/2010/04/kelahiran-imam-al-ghazali-dan.html, Thursday, April 22, 2010
[56]  Ibid.
[57] Pujian dan Kritikan Terhadap ImamAl-Ghazali,ABDUL SALAM HJ. YUSSOF ABSTRACThttp://www.ukm.my/jmalim/images/vol_06_2005/abdul_salam_2005.pdf
[58] Pujian dan Kritikan Terhadap ImamAl-GhazaliABDUL SALAM HJ. YUSSOF, ABSTRA, Thttp://www.ukm.my/jmalim/images/vol_06_2005/abdul_salam_2005.pdf
[59]Sumber ; Nasehat Tasawuf Imam al-Ghozali; Enam Pertanyaan Imam al-Ghazali Posted on 23/02/2012 by Si pencari ilmu, ipencariilmu.wordpress.com/2012/02/23/nasehat-tasawuf-imam-al-ghozali-enam-pertanyaan-imam-al-ghazali/